Kamis, 12 Februari 2015

Mitigasi Banjir Secara Massal


MEMITIGASI BANJIR SECARA MASSAL MELALUI PEMANFAATAN LAHAN BERBASIS PENGELOLAAN DAS
Oleh: Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP dan Rahmawaty, S.Hut., M.Si., PhD.
Tim Pakar Forum DAS Sumatera Utara/Staf pengajar Fakultas Pertanian USU
PENDAHULUAN
Memitigasi (mengendailkan) banjir harus dilakukan secara massal. Banjir tidak akan bisa dikendalikan oleh Pemerintah saja, tetapi harus ada keterlibatan masyarakat secara keseluruhan (massal). Peran semua pihak pada penanggulangan banjir harus dilakukan melalui pendekatan pemanfaatan lahan berbasis pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS).
Daerah aliran sungai (DAS) didefenisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah pengairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No.7 Tahun 2004).
Pengelolaan DAS pada dasarnya merupakan pengelolaan sumberdaya alam (terutama lahan) untuk pemenuhan hajat hidup setiap makhluk, utamanya manusia di dalam ekosistem DAS secara berkelanjutan, menyangkut kebutuhan yang nyata (tangible) meliputi papan, sandang dan pangan, dan kebutuhan yang tidak terukur (intangible) meliputi kenyamanan, kesegaran, dan keamanan dari ancaman bencana alam. Pemenuhan hasrat kehidupan material dan immaterial dimaksud akan terwujud jika tata hubungan timbal balik antara manusia dengan komponen ekosistem DAS lainnya terjadi secara harmonis.
Dengan demikian, teknologi pemanfaatan lahan (wilayah daratan) berbasis pengelolaan DAS adalah teknik (cara atau metoda) pemanfaatan lahan, baik lahan budidaya dan hutan, maupun pemukiman, yang tetap memiliki fungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air hujan secara proporsional guna mempertahankan/meningkatkan produk nyata (tangible) dan produk tidak nyata (intangible) yang bebas dari ancaman bencana. Teknologi pemanfaatan lahan berbasis pengelolaan DAS yang akan diuraikan berikut ini lebih ditekankan pada teknik pemanfaatan lahan yang dapat meningkatkan daya jerap (infiltrasi) dan daya simpan (water holding capacity) tanah terhadap air yang datang (curah hujan) pada lahan budidaya, lahan pemukiman, dan lahan marginal.
TEKNOLOGI PEMANFAATAN LAHAN BERBASIS PENGELOLAAN DAS PADA LAHAN BUDIDAYA
1.  Piringan
Piringan pada budidaya tanaman tahunan (perkebunan dan industri) seharusnya dibuat seperti piring (Gambar 1) yang memiliki bibir piring di bagian tepi dan cekungan di bagian tengahnya. Bentuk seperti piring ini dapat menampung air hujan dan mencegah kehilangan pupuk akibat erosi. Piringan pada perkebuan kelapa sawit (foto), dengan diameter 4 m dan kedalaman cekungan rata-rata 10 cm saja, setiap piringan dapat menampung air hujan sebanyak 1,26 m3 atau 1.260 liter air per pohon atau sebanyak 170,1 m3 per hektar atau sekitar 170.100 liter (setara dengan 17 mobil tangki berkapasitas 10.000 liter) (1 hektar kebun kelapa sawit terdapat 135 pohon)
Gambar 1. Pringan berbentuk seperti piring dapat menampung air saat terjadi hujan

2.  Pembumbunan
Pembumbunan pada tanaman pohon seperti pada jeruk manis (Gambar 2) yang benar adalah penumpukan sisa gulma atau sisa tanaman sedemikian rupa melingkar mengelilingi pohon dengan jalur tumpukan sejajar dengan proyeksi vertikal dari ujung tajuk pohon. Sebagaimana diketahui pada tanah yang sejajar dengan proyeksi vertikal ujung tajuk inilah ujung akar (perakaran aktif) dari setiap tanaman pohon. Oleh sebab itu, penempatan bumbunan seperti ini, disamping memberi manfaat tambahan hara bagi tanaman, juga dapat menjadi tempat penampung air saat terjadi hujan.
09092006(004)
Gambar 2. Pembumbunan yang juga berfungsi menampung air saat terjadi hujan
3.  Embung
Embung adalah kolam-kolam kecil yang sengaja dibuat untuk menampung air hujan pada lahan pertanian (Gambar 3), terutama di lokasi yang sangat sulit mendapatkan sumber air, biasanya pada punggung dan puncak lereng. Pada dasar kolam (embung) diberi lapisan kedap air berupa plastik atau dibeton agar air tidak mudah habis dari dalam embung. Dengan ukuran embung 3x3x2 meter misalnya, maka dapat ditampung tambahan air sebanyak 18 m3 untuk setiap embung. Bila setiap 500 m2 lahan dibuat satu embung, maka setiap hektar akan terdapat 20 embung. Ini berarti dapat ditampung air hujan sebanyak 360 m3 per hektar atau setara dengan 360.000 liter per hektar.
Gambar 3. Embung di lahan pertanian dataran tinggi berfungsi menampung air saat terjadi hujan

4. Sistem Tanam Big Hole
Sistem tanam dengan lubang tanam besar (big hole) adalah pembuatan lubang tanam yang lebar dan lebih dalam (Gambar 4) yang selain ditujukan untuk memberikan area perakaran tanaman yang lebih sesuai, juga dapat berfungsi menampung air lebih banyak pada saat terjadi hujan. Sistem tanam big hole ini biasanya diterapkan di lahan yang padat dan dangkal, seperti pada lahan terserosi berat atau pada tanah Spodosol yang memiliki horizon spodik yang keras. Setelah dibuat lubang besar (umumnya berukuran 1 x 1 x 0,6 m) dimasukkan kembali tanah yang lebih gembur dari lapisan atas ke lapisan bawah yang diselingi dengan bahan organik sisa taanaman (bisa serasah segar, kompos, atau tandan kosong kelapa sawit) kemudian ditimbun kembali dengan tanah setebal lebih kurang 40 cm. Selanjutnya bibit tanaman ditanam di bagian tengan lubang.
Gambar 4. Sistem tanam dengan big hole yang juga berfungsi menampung air saat terjadi hujan
5. Rorak
Rorak merupakan bangunan konservasi berupa parit yang dibuat memotong lereng, biasanya diterapkan pada lahan budidaya yang miring (Gambar 5). Parit dibuat sedemikian rupa berukuran lebar 0,5-0,6 meter dengan kedalaman 0,5-0,7 meter dan panjang tergantung pada panjang lahan ke arah memotong lereng (sejajar kontur). Rorak perlu dibuat pada lahan gawangan panen lahan perkebunan, baik kebun kelapa sawit maupun karet di lahan miring karena gawangan panen biasanya membentuk tapak jalan yang padat dan menjadi saluran saat terjadi hujan.
Gambar 5. Rorak yang dibuat diujung bawah gawangan panen lahan perkebunan yang berfungsi menampung air saat terjadi hujan.

6.  Mulsa Vertikal
Teknik mulsa vertikal adalah pemberian bahan organik sisa tanaman atau pupuk kandang atau kombinasi antara keduanya dengan cara membenamkan ke dalam parit atau rorak yang sengaja dibuat sedemikian rupa di antara barisan tanaman dengan jalur memotong lereng (Gambar 6). Teknik ini sangat efektif digunakan pada lahan miring hingga sangat miring. Pada teknik mulsa vertikal ini air berlebih (limpasan permukaan) yang mengalir di atas permukaan tanah akan masuk ke dalam parit (rorak) yang berisi bahan organik sisa tanaman dan atau pupuk kandang sehingga air lebih banyak ditahan di dalam parit atau rorak berisi bahan organik tersebut. Pada pertanaman tanaman semusim parit atau rorak yang telah diisi serasah dan pupuk kandang atau kompos dapat ditutup kembali dengan tanah sehingga tidak mengurangi luas permukaan lahan yang dapat ditanami. Mulsa vertikal selalu pula dilakukan pada lahan hutan produksi (hutan tanaman) saat replanting.
01092006(008)01092006(005)
Gambar 6. Mulsa vertikal pada lahan miring yang berfungsi memanfaatkan sisa tanaman dengan membenamkan ke dalam tanah yang juga berfungi menyerap air lebih banyak saat terjadi hujan.

7.  Penyadapan Air
Gubug atau saung di ladang dapat diperankan sebagai sarana penyadapan (pemanenan) air hujan (Gambar 7). Air hujan yang jatuh ke atap saung dialirkan menggunakan talang (seng bekas) menuju bak/kolam yang dibuat di bagian belakang saung. Ke dalam kolam dapat dipelihara ikan, selain airnya dapat digunakan untuk menyiram tanaman atau pengencer pupuk cair atau pestisida. Penyadapan air dapat pula dilakukan di parit/saluran bagian bawah lahan yang dilapisi plastik di bagian dasarnya, sehingga air limpasan dapat ditahan di dalam bak plastik tersebut.
Gambar 7. Teknik penyadapan/pemanenan air hujan dengan memanfaaatkan atap gubug (saung) dan plastik di parit pembatas lahan
TEKNOLOGI PEMANFAATAN LAHAN BERBASIS PENGELOLAAN DAS DI KAWASAN PEMUKIMAN
1.  Biopori
Biopori adalah lubang-lubang (pori-pori, terutama pori makro) di dalam tanah yang dibuat oleh jasad biologi, seperti lubang cacing tanah, lubang tikus, lubang marmut, lubang landak, lubang jangkrik, lubang semut, lubang rayap, lubang bekas akar yang mati dan membusuk, termasuk lubang yang dibuat menggunakan bor tanah oleh manusia. Biopori terakhir ini (Gambar 8) umumnya berdiameter 10 cm dengan kedalaman mencapai 100 cm dapat menampung air sebanyak 15,7 liter. Bila lubang ini diisi sampah organik rumah tangga, dapat menampung air 2-3 kali lebih banyak, apalagi bila sampah organik tersebut telah melapuk menjadi kompos.
Gambar 8. Pembuatan biopori di lahan pekarangan yang dapat berfungsi sebagai penampung/pembenam sampah rumah tangga yang pada gilirannya dapat menggemburkan tanah dan menyerap air hujan lebih banyak

2.  Sumur Resapan
Sumur resapan merupakan lubang yang dibuat sedemikian rupa dengan ukuran dan model yang bervariasi bergantung kepada tujuan dan kondisi lahannya, guna menampung air hujan berlebih, terutama di sekitar area pemukiman. Sumur resapan lazim dan lebih efektif diterapkan untuk menampung air hujan yang jatuh di atas atap bangunan (rumah, kantor, gudang, dan lain-lain) yang dibuat sedemikian rupa di salah satu sudut halaman bangunan guna menampung air hujan yang jatuh di atap bangunan tersebut yang disalurkan melalui talang-talang atap bangunan tersebut (Gambar 9).
Gambar 9. Sumur resapan sederhana yang berfungsi untuk menampung air hujan yang jatuh di atap rumah/bangunan
3.  Tangki Penampung
Penampungan air hujan dari atap rumah dapat pula dilakukan menggunakan tangki penampung air dengan prinsip yang sama dengan sumur resapan. Air hujan yang mengalir dari talang-talang atap rumah dimasukkan/ditampung ke dalam tangki-tangki air yang diberi keran air pada dasar tangki untuk penggunaan air tersebut untuk berbagai penggunaan, seperti menyiram bunga, mencuci kenderaan, mencuci peralatan dapur, mencuci pakaian, atau bahkan untuk air konsumsi.
Gambar 9. Tangki penampung air hujan yang jatuh ke atap rumah/bangunan

4.  Bak Penampung
Bak penampung air hujan dapat dibuat di bawah teritisan atap bangunan (ujung atap bangunan tempat air hujan jatuh ke permukaan tanah) (Gambar 10). Bak ini biasanya dibuat di halaman belakang/samping bangunan, berukuran lebar sekitar 1-2 meter dengan panjang disesuaikan dengan panjangnya teritisan atap bangunan tersebut. Ketinggian bak/kolam dibuat sekitar 1,5-2,0 meter dan pada ketinggian 1 meter diberi keran air. Fungsi keran air ini untuk mengeluarkan sebagian air di dalam bak (menggunakan air saat tidak terjadi hujan). Dengan demikian, bagian bak yang kosong dengan ketinggian 0,5-1,0 meter berfungsi menampung air kembali saat terjadi hujan, dan bagian bawahnya tetap terisi air untuk pemeliharaan (kolam) ikan.
Gambar 10. Bak penampung air hujan dari teritisan atap rumah yang juga dapat difungsikan sebagai bak pemeliharaan ikan air tawar
5.  Tapak Permeable
Tapak halaman, trotoar dan badan jalan yang dibuat dari coneblock atau lantai berlubang-lubang di kawasan pemukiman dan atau perkantoran (Gambar 11) dapat membantu penyerapan air hujan ke dalam tanah, sekaligus halaman tetap bersih dan indah. Pengerasan halaman rumah dan badan-badan jalan di area pemukiman/perkotaan menggunakan beton semen atau aspal menyebabkan tanah di kawasan tersebut tidak dapat menyerap dan menyimpan air sehingga menimbulkan genangan/banjir saat terjadi hujan.
Gambar 11. Tapak permeable yang berfungsi sebagai pengeras halaman/trotoar/jalan yang tetap dapat menyerap air hujan lebih banyak dari pada diaspal atau disemen.

6.  Taman Intersepsi
Taman dengan sebagian komponennya berupa pepohonan dapat diberdayakan untuk menampung air hujan, selain memberikan keindahan dan kesejukan. Batang pohon besar akan mengalirkan air dalam jumlah banyak pada saat terjadi hujan (steamflow). Bila di sekitar pangkal batang tidak ada serasah atau tumbuhan bawah, air yang mengalir melalui batang ini dapat menyebabkan erosi. Agar air steamflow dapat ditahan (terintersepsi) dan berkesempatan lebih banyak masuk terserap ke dalam tanah, maka di sekeliling batang (dengan diameter tertentu) diberi penyangga, baik berupa cor semen atau benteng batu dan barisan tanaman hias (Gambar 12).
Gambar 12. Pembuatan benteng semen pada taman yang dapat juga berfungsi sebagai penjebak air saat terjadi hujan
7.  Green Leaf
Penanaman pohon di dalam pot besar atau drum bekas yang ditempatkan di lantai atap rumah/bangunan atau penghijauan di lantai atap bangunan (green leaf) di kawasan pemukiman/perkotaan (Gambar 13) dapat membantu menahan dan menyimpan air hujan, selain berfungsi keindahan, kesejukan dan produksi buah-buahan. Pot-pot tanaman yang dirancang sedemikian rupa sehingga antara bibir pot dengan permukaan media tanahnya memiliki ruang (permukaan media tanah berada di bawah bibir pot) sekitar 10-15 cm saja, sudah barang tentu akan berfungsi sebagai penangkap (penyadap) air pada saat terjadi hujan.
Gambar 13. Penanaman pohon dalam pot di lantai atap rumah juga berfungsi menampung air saat terjadi hujan.

PENGHIJAUAN LAHAN MARGINAL BERBASIS PENGELOLAAN DAS
Penanaman pohon penghijauan belum tentu sepenuhnya dapat mendukung penyerapan (penampungan) dan penyimpanan air yang datang (hujan). Hutan tanpa serasah lantai hutan (hutan kota, misalnya) tidak akan berfungsi baik dari segi daur hidrologi, bahkan dapat menimbulkan erosi lebih besar. Beberapa teknik penghijauan dan atau reboisasi berbasis pengelolaan DAS (dapat menampung dan menyerap air hujan lebih banyak), diantaranya:
1.  Penanaman Pohon Penyerap Air
Pohon Beringin (Ficus benjamina) dan pohon Pulai (Alstonia scholaris) (Gambar 14) yang mampu menangkap dan menyimpan air dalam jumlah banyak (meningkatkan WHC) di sekitar tempat tumbuhnya sehingga pohon ini selalu digunakan untuk penghijauan di lingkungan mata air. Selain pohon ini mudah tumbuh pada lahan kritis (sebagai pohon pionir). Beringin mampu tumbuh di tanah yang tandus, gersang, berbatu, bercadas, dan lereng-lereng yang terjal. Perakaran pohon Beringin dalam dan memiliki akar pengikat yang banyak dan menyerabut sehingga tidak mudah roboh. Sementara Pulai mampu tumbuh pada bulan kering hingga 4 bulan.
IMG_0719
Gambar 14. Pohon Beringin (Ficus benjamina) dan pohon Pulai (Alstonia scholaris) mampu menangkap dan menyimpan air dalam jumlah banyak di sekitar tempat tumbuhnya.
2.  Penguat Bantaran Sungai
Pohon Pakam (Pometia spp) sangat baik digunakan sebagai pohon penguat bantaran sungai. Tempat tumbuh pohon Pakam yang umumnya berada di bantaran hingga ke bibir sungai (Gambar 15), memiliki peran konservasi sebagai penguat bibir, tebing, dan bantaran sungai. Kekuatan berjangkarnya akar di sela-selah celah hamparan bebatuan tebing sungai menyebabkan pohon pakam tumbuh kokoh mempertahankan bantaran sungai dari gerusan air sungai bahkan banjir bah sekalipun. Pohon Beringin dan pohon Pulai juga baik untuk penguat bantaran sungai.
IMG_1543IMG_1516
Gambar 15. Pohon Pakam (Pometia spp) sangat baik digunakan sebagai pohon penguat bantaran sungai.
3.  Rehabilitasi Lahan Kritis
Pohon Sengon, Ketapang, Beringin, Pulai, Kelor merupakan pohon yang sesuai digunakan untuk rehabilitasi lahan kritis. Pohon-pohon ini (Gambar 16) berfungsi sebagai pohon perintis (pohon pionir), memiliki sifat mampu tumbuh di tanah yang tandus, gersang, berbatu, bercadas, dan lereng-lereng yang terjal, sistem perakarannya dalam dan memiliki akar pengikat yang banyak dan menyerabut sehingga tidak mudah roboh, mampu tumbuh pada bulan kering hingga 4 bulan. Setalah pohon-pohon ini tumbuh dan membentuk tajuk yang rindang serta merangsang tumbuhnya vegetasi bawah dan menyumbang bahan organik tanah yang banyak, baru kemudian dapat ditanami pohon penghijauan lainnya yang lebih bernilai ekonomis.
IMG_0031IMG_0734
Gambar 16. Pohon Sengon dan Ketapang berfungsi sebagai pohon perintis (pohon pionir) dalam merehabilitasi lahan kritis.

4.  Pohon Intersepsi
Keberadaan pepohonan dalam kawasan hutan, terutama hutan rakyat dan hutan kota akan berfungsi efektif dalam meng-intersepsi (menahan) air hujan sebanyak mungkin di atas permukaaan tanah (menempel pada tajuk, terperangkap di pelepah dan dedaunan kering di atas permukaan tanah) apabila hutan tersebut memiliki keragamaan (variasi) pohon yang banyak. Kombinasi antara pohon berdaun lebar (jati, ketapang, kepayang, dan lain-lain) dengan pohon berpelepah (aren,pinang, kelapa) (Gambar 17) dan pohon berdaun kecil memberikan peluang lebih banyak terjadinya intersepsi air hujan.
IMG_0747IMG_0142
Gambar 17. Pohon berdaun lebar dan berpelepah dapat menintersepsi air hujan lebih banyak

5.  Sistem Agroforestry
Sistem agroforestry (Gambar 18) adalah suatu sistem penggunaan lahan yang berorientasi sosial dan ekologikal dengan mengintegrasikan (mengkombinasikan) pepohonan (hutan) dengan tanaman pertanian (agronomis) dan atau ternak secara simultan atau berurutan, untuk mendapatkan total produksi tanaman dan hewan secara berkelanjutan dari suatu unit lahan. Pemanfaatan lahan optimal seperti ini sekaligus membuka peluang daya jerap dan daya simpan tanah terhadap air hujan lebih banyak.
IMG_0957-2
Gambar 18. Sistem agroforestry yang juga dapat memperbesar kapasitas infiltrasi tanah terhadap air hujan
6. Sistem Tanam Hole in Hole
Sistem tanam hole in hole adalah pembuatan lubang tanam ganda (Gambar 19) sedemikian rupa sehingga lubang untuk penempatan bibit dibuat/berada di bagian tengah/di dalam lubang lainnya yang ukurannya lebih kecil. Sistem tanam ini juga dimaksudkan sebagai upaya pemanenan air (water harvesting), terutama untuk penanaman tanaman pohon penghijauan/reboisasi di daerah yang sukar diperoleh sumber air (di bagian punggung atau puncak bukit/lereng). Dengan ukuran lubang luar 1x1x0,5 m, maka dapat ditahan air tambahan sebanyak 0,5 m3 per lubang. Bila jarak tanam pohon 10x10 meter maka akan diperoleh 100 lubang tanam. Ini berarti dapat ditahan tambahan air sebanyak 50 m3 atau setara dengan 50.000 liter air per hektar per kejadian hujan.
Gambar 19. Sistem tanam hole in hole
7.  Pengembangan Situ-Situ
Situ-situ dalam hal ini adalah area tempat berkumpulnya (terakumulasinya) air saat terjadi hujan berlebih. Landskap permukaan lahan memang menyediakan bagian-bagian cekungan, lereng dan puncak (cembungan). Dengan begitu, area cekungan (seperti rawa-rawa) pada suatu landskap pasti akan “didatangi” air limpasan dari berbagai arah pada saat terjadi hujan lebat. Pada area ini dapat dilakukan pengembangan situ-situ untuk kegiatan usaha (bisnis) berbasis pengelolaan air (water management) yang dapat menghasilkan keuntungan yang lebih kurang sama dibandingkan dengan mengubahnya menjadi kawasan industri sekalipun. Usaha wisata air, berupa water boom, kolam renang, waduk dengan sampan-sampan dan kereta air, kolam pemancingan dan outbound akan menghasilkan keuntungan dalam jumlah besar di satu sisi dan fungsi kawasan sebagai tempat berkumpulnya air saat terjadi hujan tidak terganggu di sisi lain (Gambar 20).
Gambar 20. Pengembangan situ-situ untuk usaha (bisnis) berbasis air


PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa pengelolaan DAS harus difungsikan pada setiap upaya pemanfaatan lahan, di semua kawasan, baik pada kawasan hutan dan budidaya, maupun kawasan pemukiman. Ini berarti pula bahwa setiap orang, baik sebagai individu, komunitas, maupun mewakili lembaga/insatnsi dapat berperan dan harus memanfaatkan lahan garapannya berbasis pengelolaan DAS.