MEMITIGASI
BANJIR SECARA MASSAL MELALUI PEMANFAATAN LAHAN BERBASIS PENGELOLAAN DAS
Oleh: Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP dan Rahmawaty,
S.Hut., M.Si., PhD.
Tim
Pakar Forum DAS Sumatera Utara/Staf pengajar Fakultas Pertanian USU
PENDAHULUAN
Memitigasi
(mengendailkan) banjir harus dilakukan secara massal. Banjir tidak akan bisa
dikendalikan oleh Pemerintah saja, tetapi harus ada keterlibatan masyarakat
secara keseluruhan (massal). Peran semua pihak pada penanggulangan banjir harus
dilakukan melalui pendekatan pemanfaatan lahan berbasis pengelolaan Daerah
Aliran Sungai (DAS).
Daerah aliran sungai
(DAS) didefenisikan sebagai suatu
wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan ekosistem dengan sungai dan
anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air
yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di
darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah
pengairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No.7 Tahun 2004).
Pengelolaan DAS pada
dasarnya merupakan pengelolaan sumberdaya alam (terutama lahan) untuk pemenuhan
hajat hidup setiap makhluk, utamanya manusia di dalam ekosistem DAS secara
berkelanjutan, menyangkut kebutuhan yang nyata (tangible) meliputi papan, sandang dan pangan, dan kebutuhan yang
tidak terukur (intangible) meliputi
kenyamanan, kesegaran, dan keamanan dari ancaman bencana alam. Pemenuhan hasrat
kehidupan material dan immaterial dimaksud akan terwujud jika tata hubungan
timbal balik antara manusia dengan komponen ekosistem DAS lainnya terjadi
secara harmonis.
Dengan demikian,
teknologi pemanfaatan lahan (wilayah daratan) berbasis pengelolaan DAS adalah
teknik (cara atau metoda) pemanfaatan lahan, baik lahan budidaya dan hutan,
maupun pemukiman, yang tetap memiliki fungsi menampung, menyimpan, dan
mengalirkan air hujan secara proporsional guna mempertahankan/meningkatkan
produk nyata (tangible) dan produk
tidak nyata (intangible) yang bebas
dari ancaman bencana. Teknologi pemanfaatan lahan berbasis pengelolaan DAS yang
akan diuraikan berikut ini lebih ditekankan pada teknik pemanfaatan lahan yang
dapat meningkatkan daya jerap (infiltrasi) dan daya simpan (water holding capacity) tanah terhadap
air yang datang (curah hujan) pada lahan budidaya, lahan pemukiman, dan lahan
marginal.
TEKNOLOGI
PEMANFAATAN LAHAN BERBASIS PENGELOLAAN DAS PADA LAHAN BUDIDAYA
1. Piringan
Piringan pada budidaya
tanaman tahunan (perkebunan dan industri) seharusnya dibuat seperti piring (Gambar
1) yang memiliki bibir piring di bagian tepi dan cekungan di bagian tengahnya.
Bentuk seperti piring ini dapat menampung air hujan dan mencegah kehilangan
pupuk akibat erosi. Piringan pada perkebuan kelapa sawit (foto), dengan diameter 4 m dan kedalaman cekungan rata-rata 10 cm saja, setiap piringan
dapat menampung air hujan sebanyak 1,26 m3 atau 1.260 liter air per pohon atau sebanyak 170,1 m3 per hektar atau sekitar 170.100 liter (setara dengan 17 mobil tangki berkapasitas 10.000 liter)
(1 hektar kebun kelapa sawit terdapat 135 pohon)
Gambar
1. Pringan berbentuk seperti piring dapat menampung air saat terjadi hujan
2. Pembumbunan
Pembumbunan pada
tanaman pohon seperti pada jeruk manis (Gambar 2) yang benar adalah penumpukan
sisa gulma atau sisa tanaman sedemikian rupa melingkar mengelilingi pohon
dengan jalur tumpukan sejajar dengan proyeksi vertikal dari ujung tajuk pohon.
Sebagaimana diketahui pada tanah yang sejajar dengan proyeksi vertikal ujung
tajuk inilah ujung akar (perakaran aktif) dari setiap tanaman pohon. Oleh sebab
itu, penempatan bumbunan seperti ini, disamping memberi manfaat tambahan hara
bagi tanaman, juga dapat menjadi tempat penampung air saat terjadi hujan.
Gambar
2. Pembumbunan yang juga berfungsi menampung air saat terjadi hujan
3. Embung
Embung adalah kolam-kolam kecil yang sengaja dibuat untuk menampung air
hujan pada lahan pertanian (Gambar 3), terutama di lokasi yang sangat sulit mendapatkan sumber
air, biasanya pada punggung dan puncak lereng. Pada dasar kolam (embung) diberi
lapisan kedap air berupa plastik atau dibeton agar air tidak mudah habis dari
dalam embung. Dengan ukuran embung 3x3x2 meter misalnya, maka dapat ditampung
tambahan air sebanyak 18 m3 untuk setiap embung. Bila setiap 500 m2
lahan dibuat satu embung, maka setiap hektar akan terdapat 20 embung. Ini
berarti dapat ditampung air hujan sebanyak 360 m3 per hektar atau
setara dengan 360.000 liter per hektar.
Gambar 3. Embung di lahan pertanian
dataran tinggi berfungsi menampung air saat terjadi hujan
4. Sistem
Tanam Big Hole
Sistem tanam dengan
lubang tanam besar (big hole) adalah
pembuatan lubang tanam yang lebar dan lebih dalam (Gambar 4) yang selain
ditujukan untuk memberikan area perakaran tanaman yang lebih sesuai, juga dapat
berfungsi menampung air lebih banyak pada saat terjadi hujan. Sistem tanam big hole ini biasanya diterapkan di
lahan yang padat dan dangkal, seperti pada lahan terserosi berat atau pada
tanah Spodosol yang memiliki horizon spodik yang keras. Setelah dibuat lubang
besar (umumnya berukuran 1 x 1 x 0,6 m) dimasukkan kembali tanah yang lebih
gembur dari lapisan atas ke lapisan bawah yang diselingi dengan bahan organik
sisa taanaman (bisa serasah segar, kompos, atau tandan kosong kelapa sawit)
kemudian ditimbun kembali dengan tanah setebal lebih kurang 40 cm. Selanjutnya
bibit tanaman ditanam di bagian tengan lubang.
Gambar 4. Sistem tanam dengan big hole yang juga berfungsi menampung
air saat terjadi hujan
5. Rorak
Rorak merupakan bangunan konservasi berupa parit yang dibuat memotong
lereng, biasanya diterapkan pada lahan budidaya yang miring
(Gambar 5). Parit dibuat
sedemikian rupa berukuran lebar 0,5-0,6 meter dengan kedalaman 0,5-0,7 meter
dan panjang tergantung pada panjang lahan ke arah memotong lereng (sejajar
kontur). Rorak perlu dibuat pada lahan gawangan panen lahan perkebunan, baik kebun kelapa sawit maupun karet di lahan
miring
karena gawangan panen biasanya
membentuk tapak jalan yang padat dan menjadi saluran saat terjadi hujan.
Gambar 5. Rorak yang dibuat
diujung bawah gawangan panen lahan perkebunan yang berfungsi menampung air saat
terjadi hujan.
6. Mulsa Vertikal
Teknik mulsa vertikal adalah pemberian bahan organik sisa tanaman atau
pupuk kandang atau kombinasi antara keduanya dengan cara membenamkan ke dalam
parit atau rorak yang sengaja dibuat sedemikian rupa di antara barisan tanaman
dengan jalur memotong lereng (Gambar 6). Teknik ini sangat efektif digunakan pada lahan miring
hingga sangat miring. Pada teknik mulsa vertikal ini air berlebih (limpasan
permukaan) yang mengalir di atas permukaan tanah akan masuk ke dalam parit (rorak)
yang berisi bahan organik sisa tanaman dan atau pupuk kandang sehingga air
lebih banyak ditahan di dalam parit atau rorak berisi bahan organik tersebut.
Pada pertanaman tanaman semusim parit atau rorak yang telah diisi serasah dan
pupuk kandang atau kompos dapat ditutup kembali dengan tanah sehingga tidak
mengurangi luas permukaan lahan yang dapat ditanami.
Mulsa vertikal selalu pula dilakukan pada lahan hutan produksi (hutan tanaman)
saat replanting.
Gambar 6. Mulsa vertikal pada
lahan miring yang berfungsi memanfaatkan sisa tanaman dengan membenamkan ke
dalam tanah yang juga berfungi menyerap air lebih banyak saat terjadi hujan.
7. Penyadapan
Air
Gubug atau saung di
ladang dapat diperankan sebagai sarana penyadapan (pemanenan) air hujan (Gambar
7). Air hujan yang jatuh ke atap saung dialirkan menggunakan talang (seng
bekas) menuju bak/kolam yang dibuat di bagian belakang saung. Ke dalam kolam
dapat dipelihara ikan, selain airnya dapat digunakan untuk menyiram tanaman
atau pengencer pupuk cair atau pestisida. Penyadapan air dapat pula dilakukan
di parit/saluran bagian bawah lahan yang dilapisi plastik di bagian dasarnya,
sehingga air limpasan dapat ditahan di dalam bak plastik tersebut.
Gambar 7. Teknik
penyadapan/pemanenan air hujan dengan memanfaaatkan atap gubug (saung) dan
plastik di parit pembatas lahan
TEKNOLOGI
PEMANFAATAN LAHAN BERBASIS PENGELOLAAN DAS DI KAWASAN PEMUKIMAN
1. Biopori
Biopori adalah
lubang-lubang (pori-pori, terutama pori makro) di dalam tanah yang dibuat oleh
jasad biologi, seperti lubang cacing tanah, lubang tikus, lubang marmut, lubang
landak, lubang jangkrik, lubang semut, lubang rayap, lubang bekas akar yang
mati dan membusuk, termasuk lubang yang dibuat menggunakan bor tanah oleh
manusia. Biopori terakhir ini (Gambar 8) umumnya berdiameter 10 cm dengan
kedalaman mencapai 100 cm dapat menampung air sebanyak 15,7 liter. Bila lubang
ini diisi sampah organik rumah tangga, dapat menampung air 2-3 kali lebih
banyak, apalagi bila sampah organik tersebut telah melapuk menjadi kompos.
Gambar 8. Pembuatan
biopori di lahan pekarangan yang dapat berfungsi sebagai penampung/pembenam
sampah rumah tangga yang pada gilirannya dapat menggemburkan tanah dan menyerap
air hujan lebih banyak
2. Sumur Resapan
Sumur resapan merupakan
lubang yang dibuat sedemikian rupa dengan ukuran dan model yang bervariasi
bergantung kepada tujuan dan kondisi lahannya, guna menampung air hujan
berlebih, terutama di sekitar area pemukiman. Sumur resapan lazim dan lebih efektif diterapkan untuk
menampung air hujan yang jatuh di atas atap bangunan (rumah, kantor, gudang,
dan lain-lain) yang dibuat sedemikian rupa di salah satu sudut halaman bangunan
guna menampung air hujan yang jatuh di atap bangunan tersebut yang disalurkan
melalui talang-talang atap bangunan tersebut (Gambar 9).
Gambar 9. Sumur
resapan sederhana yang berfungsi untuk menampung air hujan yang jatuh di atap
rumah/bangunan
3. Tangki Penampung
Penampungan air hujan dari atap rumah dapat pula dilakukan menggunakan tangki penampung air dengan
prinsip yang sama dengan sumur resapan. Air hujan yang mengalir dari
talang-talang atap rumah dimasukkan/ditampung ke dalam tangki-tangki air yang
diberi keran air pada dasar tangki untuk penggunaan air tersebut untuk berbagai
penggunaan, seperti menyiram bunga, mencuci kenderaan, mencuci peralatan dapur,
mencuci pakaian, atau bahkan untuk air konsumsi.
Gambar 9. Tangki penampung air hujan yang jatuh ke
atap rumah/bangunan
4. Bak Penampung
Bak penampung air hujan dapat dibuat di bawah teritisan atap bangunan
(ujung atap bangunan tempat air hujan jatuh ke permukaan tanah)
(Gambar 10). Bak ini biasanya
dibuat di halaman belakang/samping bangunan, berukuran lebar sekitar 1-2 meter
dengan panjang disesuaikan dengan panjangnya teritisan atap bangunan tersebut.
Ketinggian bak/kolam dibuat sekitar 1,5-2,0 meter dan pada ketinggian 1 meter
diberi keran air. Fungsi keran air ini untuk mengeluarkan sebagian air di dalam
bak (menggunakan air saat tidak terjadi hujan). Dengan demikian, bagian bak yang kosong dengan ketinggian 0,5-1,0 meter berfungsi
menampung air kembali saat
terjadi hujan, dan bagian bawahnya tetap terisi air untuk pemeliharaan (kolam) ikan.
Gambar 10. Bak
penampung air hujan dari teritisan atap rumah yang juga dapat difungsikan
sebagai bak pemeliharaan ikan air tawar
5. Tapak Permeable
Tapak halaman, trotoar dan badan jalan yang dibuat dari
coneblock atau lantai berlubang-lubang di kawasan pemukiman dan atau perkantoran (Gambar 11) dapat membantu penyerapan air hujan ke dalam tanah,
sekaligus halaman tetap bersih dan indah. Pengerasan halaman rumah dan badan-badan jalan di area
pemukiman/perkotaan menggunakan
beton semen atau aspal menyebabkan tanah di kawasan tersebut tidak dapat
menyerap dan menyimpan air sehingga menimbulkan genangan/banjir saat terjadi
hujan.
Gambar 11. Tapak
permeable yang berfungsi sebagai pengeras halaman/trotoar/jalan yang tetap
dapat menyerap air hujan lebih banyak dari pada diaspal atau disemen.
6. Taman Intersepsi
Taman dengan sebagian
komponennya berupa pepohonan dapat diberdayakan untuk menampung air hujan,
selain memberikan keindahan dan kesejukan. Batang pohon besar akan mengalirkan
air dalam jumlah banyak pada saat terjadi hujan (steamflow). Bila di sekitar pangkal batang tidak ada serasah atau
tumbuhan bawah, air yang mengalir melalui batang ini dapat menyebabkan erosi.
Agar air steamflow dapat ditahan
(terintersepsi) dan berkesempatan lebih banyak masuk terserap ke dalam tanah,
maka di sekeliling batang (dengan diameter tertentu) diberi penyangga, baik
berupa cor semen atau benteng batu dan barisan tanaman hias (Gambar 12).
Gambar 12. Pembuatan
benteng semen pada taman yang dapat juga berfungsi sebagai penjebak air saat
terjadi hujan
7. Green Leaf
Penanaman pohon di
dalam pot besar atau drum bekas yang ditempatkan di lantai atap rumah/bangunan
atau penghijauan di lantai atap bangunan (green
leaf) di kawasan pemukiman/perkotaan (Gambar 13) dapat membantu menahan dan
menyimpan air hujan, selain berfungsi keindahan, kesejukan dan produksi
buah-buahan. Pot-pot tanaman yang
dirancang sedemikian rupa sehingga
antara bibir pot dengan permukaan media tanahnya memiliki ruang (permukaan media tanah berada di
bawah bibir pot) sekitar 10-15 cm saja, sudah barang tentu akan berfungsi sebagai penangkap
(penyadap) air pada saat terjadi hujan.
Gambar 13.
Penanaman pohon dalam pot di lantai atap rumah juga berfungsi menampung air
saat terjadi hujan.
PENGHIJAUAN LAHAN MARGINAL BERBASIS
PENGELOLAAN DAS
Penanaman pohon penghijauan belum tentu sepenuhnya dapat
mendukung penyerapan (penampungan) dan penyimpanan air yang datang (hujan).
Hutan tanpa serasah lantai hutan (hutan kota, misalnya) tidak akan berfungsi
baik dari segi daur hidrologi, bahkan dapat menimbulkan erosi lebih besar.
Beberapa teknik penghijauan dan atau reboisasi berbasis pengelolaan DAS (dapat
menampung dan menyerap air hujan lebih banyak), diantaranya:
1. Penanaman Pohon Penyerap Air
Pohon Beringin (Ficus benjamina) dan pohon Pulai (Alstonia scholaris) (Gambar
14) yang mampu menangkap dan menyimpan
air dalam jumlah banyak (meningkatkan WHC) di sekitar tempat tumbuhnya
sehingga pohon ini selalu digunakan untuk penghijauan di lingkungan mata air.
Selain pohon ini mudah tumbuh pada lahan kritis (sebagai pohon pionir).
Beringin mampu tumbuh di
tanah yang tandus, gersang, berbatu, bercadas, dan lereng-lereng yang terjal.
Perakaran pohon Beringin dalam dan memiliki akar pengikat yang banyak dan menyerabut sehingga tidak mudah roboh.
Sementara Pulai mampu tumbuh pada bulan kering hingga 4 bulan.
Gambar 14. Pohon Beringin (Ficus benjamina) dan
pohon Pulai (Alstonia
scholaris) mampu menangkap
dan menyimpan air dalam jumlah banyak
di sekitar tempat tumbuhnya.
2. Penguat Bantaran Sungai
Pohon Pakam (Pometia spp)
sangat baik digunakan sebagai pohon penguat bantaran sungai. Tempat tumbuh
pohon Pakam yang umumnya berada di bantaran hingga ke bibir sungai (Gambar 15),
memiliki peran konservasi sebagai penguat bibir, tebing, dan bantaran sungai.
Kekuatan berjangkarnya akar di sela-selah celah hamparan bebatuan tebing sungai
menyebabkan pohon pakam tumbuh kokoh mempertahankan bantaran sungai dari
gerusan air sungai bahkan banjir bah sekalipun. Pohon Beringin dan pohon Pulai
juga baik untuk penguat bantaran sungai.
Gambar 15. Pohon
Pakam (Pometia spp)
sangat baik digunakan sebagai pohon penguat bantaran sungai.
3. Rehabilitasi Lahan Kritis
Pohon Sengon, Ketapang,
Beringin, Pulai, Kelor merupakan pohon yang sesuai digunakan untuk rehabilitasi
lahan kritis. Pohon-pohon ini (Gambar 16) berfungsi sebagai pohon perintis
(pohon pionir), memiliki sifat mampu tumbuh di tanah yang tandus, gersang, berbatu, bercadas, dan
lereng-lereng yang terjal, sistem perakarannya dalam dan memiliki akar pengikat yang banyak
dan menyerabut sehingga
tidak mudah roboh, mampu tumbuh pada bulan kering hingga
4 bulan. Setalah pohon-pohon ini tumbuh dan membentuk tajuk yang rindang serta
merangsang tumbuhnya vegetasi bawah dan menyumbang bahan organik tanah yang
banyak, baru kemudian dapat ditanami pohon penghijauan lainnya yang lebih
bernilai ekonomis.
Gambar 16. Pohon
Sengon dan Ketapang berfungsi sebagai pohon perintis (pohon pionir) dalam
merehabilitasi lahan kritis.
4. Pohon
Intersepsi
Keberadaan pepohonan
dalam kawasan hutan, terutama hutan rakyat dan hutan kota akan berfungsi
efektif dalam meng-intersepsi (menahan) air hujan sebanyak mungkin di atas
permukaaan tanah (menempel pada tajuk, terperangkap di pelepah dan dedaunan
kering di atas permukaan tanah) apabila hutan tersebut memiliki keragamaan
(variasi) pohon yang banyak. Kombinasi antara pohon berdaun lebar (jati,
ketapang, kepayang, dan lain-lain) dengan pohon berpelepah (aren,pinang,
kelapa) (Gambar 17) dan pohon berdaun kecil memberikan peluang lebih banyak
terjadinya intersepsi air hujan.
Gambar 17. Pohon
berdaun lebar dan berpelepah dapat menintersepsi air hujan lebih banyak
5. Sistem
Agroforestry
Sistem
agroforestry (Gambar 18) adalah suatu sistem penggunaan lahan yang berorientasi
sosial dan ekologikal dengan mengintegrasikan
(mengkombinasikan) pepohonan (hutan) dengan tanaman pertanian (agronomis) dan
atau ternak secara simultan atau
berurutan, untuk mendapatkan total produksi tanaman dan hewan secara berkelanjutan dari suatu unit lahan.
Pemanfaatan lahan optimal seperti ini sekaligus membuka peluang daya jerap dan
daya simpan tanah terhadap air hujan lebih banyak.
Gambar 18.
Sistem agroforestry yang juga dapat memperbesar kapasitas infiltrasi tanah
terhadap air hujan
6.
Sistem Tanam Hole
in Hole
Sistem tanam hole in hole adalah
pembuatan lubang tanam ganda (Gambar 19) sedemikian rupa sehingga lubang untuk penempatan bibit
dibuat/berada di bagian tengah/di dalam lubang lainnya yang ukurannya lebih
kecil. Sistem tanam ini juga dimaksudkan sebagai upaya pemanenan air (water harvesting), terutama untuk
penanaman tanaman pohon penghijauan/reboisasi di daerah yang sukar diperoleh
sumber air (di bagian punggung atau puncak bukit/lereng). Dengan ukuran lubang
luar 1x1x0,5 m, maka dapat ditahan air tambahan sebanyak 0,5 m3 per
lubang. Bila jarak tanam pohon 10x10 meter maka akan diperoleh 100 lubang
tanam. Ini berarti dapat ditahan tambahan air sebanyak 50 m3 atau
setara dengan 50.000 liter air per hektar per kejadian hujan.
Gambar 19.
Sistem tanam hole in hole
7. Pengembangan
Situ-Situ
Situ-situ dalam hal ini adalah area tempat berkumpulnya (terakumulasinya)
air saat terjadi hujan berlebih. Landskap permukaan lahan memang menyediakan
bagian-bagian cekungan, lereng dan puncak (cembungan). Dengan begitu, area
cekungan
(seperti rawa-rawa) pada suatu
landskap pasti akan “didatangi” air limpasan dari berbagai arah pada saat
terjadi hujan lebat. Pada area ini dapat dilakukan pengembangan situ-situ untuk kegiatan usaha (bisnis)
berbasis pengelolaan air (water
management) yang dapat menghasilkan keuntungan yang lebih kurang sama
dibandingkan dengan mengubahnya menjadi kawasan industri sekalipun. Usaha
wisata air, berupa water boom, kolam
renang, waduk dengan sampan-sampan dan kereta air, kolam pemancingan dan outbound akan menghasilkan keuntungan
dalam jumlah besar di satu sisi dan fungsi kawasan sebagai tempat berkumpulnya
air saat terjadi hujan tidak terganggu di sisi lain (Gambar
20).
Gambar
20. Pengembangan situ-situ untuk usaha (bisnis) berbasis air
PENUTUP
Berdasarkan uraian di
atas, dapat diketahui bahwa pengelolaan DAS harus difungsikan pada setiap upaya
pemanfaatan lahan, di semua kawasan, baik pada kawasan hutan dan budidaya,
maupun kawasan pemukiman. Ini berarti pula bahwa setiap orang, baik sebagai
individu, komunitas, maupun mewakili lembaga/insatnsi dapat berperan dan harus
memanfaatkan lahan garapannya berbasis pengelolaan DAS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar