Minggu, 20 April 2014

Agroforestry Optimal Pada Lahan Marginal


SISTEM AGROFORESTRY OPTIMAL UNTUK KEBERKELANJUTAN PEMANFAATAN LAHAN MARGINAL
(Kasus di Kawasan Penyangga Taman Nasional Gunung Leuser Kabupaten Langkat Sumatera Utara)

Oleh: Abdul Rauf
Staf Pengajar Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian USU
Jl. Prof. A. Sofyan No. 3 Kampus USU Medan 20155
e-mail: a_rauf_soil@yahoo.co.id; a.raufismail@gmail.com

ABSTRAK
Agroforestry sebagai suatu sistem managemen pemanfaatan lahan yang mengusahakan produksi biologis berdaur pendek dan berdaur panjang (kombinasi komoditi kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan atau perikanan) pada suatu tapak di dalam dan atau di luar kawasan hutan, tidak seluruhnya optimal dalam menjamin keberlanjutan pemanfatan lahan marginal dan atau kelestarian lingkungan. Sistem Agroforestry di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Kabupaten Langkat Sumatera Utara yang dibangun oleh pemilik lahan dengan kombinasi pepohonan hutan dan tanaman pertanian (tipe Agrosilvikultural) pada kemiringan lereng >25% masih menimbulkan erosi sebesar 136,79 ton/ha/thn, sementara pada tipe Agrosilvopastural dan Agroaquaforestry erosi yang terjadi masing-masing sebesar 79,84 ton/ha/thn dan 75,49 ton/ha/thn. Nilai erosi ini masih lebih tinggi dari erosi yang diperbolehkan (ditoleransikan) di lokasi tersebut sebesar 31,25 ton/ha/thn. Analisis optimasi menggunakan Program Tujuan Ganda (Multiple Goal Programming) mendapatkan bahwa sistem agroforestry yang dapat mengendalikan erosi ke tingkat yang diperbolehkan adalah dengan alokasi penggunaan lahan 66-68% untuk tanaman pohon, 13-31% untuk tanaman pangan, 13-20% untuk palawaija, dan 10-13% untuk sayuran dengan tanaman rumput atau tanaman obat berjarak tanam rapat mengisi bagian lahan di sekitar pangkal batang tanaman pohon. Untuk mendapatkan hasil yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak bagi petaninya luas minimal lahan agroforestry sebesar 1,18 hektar untuk setiap keluarga dengan anggota keluarga maksimal 5 jiwa.
Kata kunci: agroforestry optimal, erosi, lahan marginal.
  
PENDAHULUAN
Salah satu dari demikian banyak batasan tentang agroforestry adalah sistem penggunaan lahan yang berorientasi sosial dan ekologikal dengan mengintegrasikan pepohonan (hutan) dengan tanaman pertanian dan atau ternak secara simultan atau berurutan untuk mendapatkan total produksi tanaman (termasuk serat dan papan) dan atau hewan secara berkelanjutan (orientasi ekonomis) dari satu unit lahan dengan input teknologi yang sederahana dan pada lahan marginal (potensial kritis) (Nair, 1989a).
Berdasarkan batasan tersebut dapat diketahui bahwa sistem agroforestry memiliki fungsi dengan dimensi yang luas, tidak hanya sebagai penghasil produk pertanian (termasuk kayu dan ternak) yang tampak nyata dan dapat dipasarkan (tangible and marketable), tetapi juga sebagai penghasil jasa yang tidak tampak nyata (intangible). Fungsi sebagai penghasil produk pertanian atau fungsi ekonomis dari sistem agroforestry meliputi peningkatan output karena lebih bervariasinya produk yang diperoleh (pangan, papan, serat, kayu, bahan bakar, pupuk hijau, pakan ternak dan pupuk kandang), memperkecil kegagalan panen karena kegagalan atau merosotnya harga panen dari salah satu komponen penyusun agoforestry dapat ditutupi oleh panen dari komponen penyususn lainnya, stabilitas dan peningkatan pendapatan petani terjamin karena satu paket input yang diberikan menghasilkan output yang bervariasi dan berkelanjutan (Nair, 1989b; Chundawat and Gautam, 1993;  Lal, 1995).
Sedangkan fungsi penghasil jasa yang tidak tampak nyata dari sistem agroforestry antara lain adalah stabilisasi kualitas lingkungan seperti memitigasi banjir, pengendali erosi tanah, pemelihara pasokan air tanah, penambat karbon, penyejuk dan penyegar udara, dan pemelihara keanekaragaman hayati), serta menciptakan panorama (keindahan) dan daya tarik pedesaan (Nair, 1989c; Chundawat and Gautam, 1993;  Lal, 1995)).

PERANAN AGROFORESTRY DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN HIDUP LAYAK
Kebutuhan hidup layak (KHL) sebuah keluarga atau kebutuhan hidup yang berada pada ambang kecukupan terjadi apabila keluarga tersebut memiliki penghasilan sekurang-kurangnya 2,5 kali kebutuhan hidup minimum (KHM). Menurut Sajogyo (1977) KHM yang merupakan standar minimal penghasilan untuk sekedar bertahan hidup per kapita per tahun di pedesaan nilainya rata-rata setara dengan 320 kilogram beras. Untuk mencapai kebutuhan hidup layak (KHL), suatu keluarga harus berpenghasilan yang dapat memenuhi KHM sekaligus dapat membiayai sekolah anak-anaknya, berobat bila sakit, memenuhi sarana prasarana kehidupan sehari-hari, membiayai kegiatan sosial, dan menabung (2,5 kali KHM).
            Hasil penelitian Abdul-Rauf (2001) menunjukkan bahwa 95,49% keluarga petani yang menerapkan sistem agroforestry di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) memiliki penghasilan di atas KHM, 30,82% diantaranya berpenghasilan di atas KHL, dan hanya 4,51% petani agroforestry di daerah itu yang berpenghasilan di bawah KHM. Dengan harga beras sebesar Rp.6.500,- per kilogram misalnya, maka nilai KHM setiap keluarga petani dengan 5 orang anggota keluarga sebesar Rp.10.400.000,- per tahun, sedangkan nilai KHL-nya sebesar minimal Rp.26.000.000,- per tahun.
Terdapatnya petani agroforestry di kawasan penyangga TNGL yang masih berpenghasilan di bawah KHM karena dalam menjalankan sistem agroforestrynya masih bersifat subsisten yaitu output yang dihasilkan hanya mengandalkan input sekedarnya saja dan umumnya terbentuk dari sistem perladangan berpindah yang kemudian sebagian tapak lahan ditanami bambu, kemiri, pinang dan tanaman tahunan lainnya. Keberadaan tanaman pertanian di antara pepohonan hutan tersebut hanya ditujukan untuk pengamanan lahan (mempertegas status lahan) atas kepemilikan dari keluarga petani tertentu.
Petani agroforestry di kawasan penyangga TNGL yang berpenghasilan di atas KHM tetapi belum mencapai KHL (berpenghasilan Rp.10.400.000,- hingga Rp.26.000.000,- per tahun) adalah kelompok petani yang menjalankan sistem agroforestrynya secara (bersifat) intermediet yaitu tingkat pengelolaan dan pencapaian output yang medium, meski tetap mempertimbangkan input namun pada tingkat yang tidak optimal.
System agroforestry yang dijalankan dengan prinsip komersial yaitu pengelolaannya telah mempertimbangkan input dan output yang optimal umumnya dapat menghasilkan pendapatan melebihi nilai KHL (> Rp.26.000.000,- per tahun). Komponen agroforestrynya diperkaya dengan menyertakan agroteknologi yang memadai dan disesuaikan dengan kondisi lahan sehingga fungsi proteksi (perlindungan) dan keberlanjutan juga terwujud, sebagaimana tergambar pada Tabel 1-2.
Dari Tabel 1-2 dapat diketahui bahwa penghasilan dari system agroforestry yang diterapkan secara intensif (bersifat komersial) dengan mengkombinasikan komoditi bernilai ekonomis tinggi dan agroteknologi yang memadai serta spesifik lokasi dapat melampaui KHL untuk setiap hektar lahan yang diusahakan. Pada tipe agrosilvikultural yang mengkombinasikan 10 komoditi dan masih terdapat 6 komoditi yang belum menghasilkan (Tabel 1; Gambar 1) dapat memperoleh penghasilan Rp. 26 437 000,- per hektar per tahun yang melampaui nilai KHL sebesar Rp.26.000.000,- per tahun. Hal yang sama terjadi pada tipe agroaquaforestry (Tabel 2; Gambar 3) dengan penghasilan Rp. 34 299 500,- per hektar per tahun.

Tabel 1. Komposisi  dan  produksi  dari  tipe  Agrosilvikultural Model Agen Sembiring di kawasan penyangga TNGL, Dusun Seberaya Atas Desa Garunggang Kec. Kuala Kab.Langkat


Jenis Komoditi

Kedudukan dalam Lahan
Luas Lahan (Ha.)
Populasi
Produksi
Volume Panen/thn
Nilai Uang (Rp/thn)
1.      Padi Gogo
2.      Cabai Merah
3.      Kopi Ateng
4.      Jeruk Manis
5.      Kulit Manis
6.      Aren
7.      Durian
8.      Sengon
9.      Pinang
10.  Mahoni
11.  Hutan Rakyat
Sisi Timur – Tengah
Diantara Padi Gogo
Sisi Barat – Selatan
Sisi Barat
Diantara Padi Gogo
Diantara Padi Gogo
Sisi Barat
Diantara Padi Gogo
Pembatas Lahan
Diantara Pinang
Sisi Selatan – Barat
0.72
-
0.60
0.20
-
-
0.06
-
-
-
-
14400 rpn
14400 rpn
1500 phn
220 phn
7 phn
5 phn
12 phn
5 phn
100 phn
30 phn
-
13.68 ton
1.62 ton
3.35 ton
tbm*)
tbm
408 kg
tbm
tbm
tbm
tbm
-
1 944 000,-
11 340 000,-
11 725 000,-
          -
          -
1 428 000,-
          -
          -
          -
           -
          -
Jumlah
1.58
-
-
26 437 000,-
Sumber: Abdul-Rauf (2001)   *) tbm = tanaman belum menghasilkan

Tabel 2. Komposisi dan produksi dari tipe Agroaquaforestry Model Rasta Sitepu di kawasan penyangga TNGL, Dusun Pamah Semilir Desa Telagah Kec. Sei Bingei Kab.Langkat


Jenis Komoditi

Kedudukan dalam Lahan

Luas Lahan (Ha.)

Populasi
Produksi
Volume Panen/thn
Nilai Uang (Rp/thn)
1.      Kolam
2.      Kopi
3.      Pisang
4.      Kulit Manis
5.      Aren
6.      Ubi Kayu
7.      Jahe
8.      Hutan Lindung
9.      Hutan Rakyat
10.  Semak
Bagian tengah
Sisi Selatan
Diantara kopi
Sisi Timur s/d Utara
Diantara Kopi/K.Manis
Diantara K.Manis
Sisi Barat
Setelah Jahe/Sisi Barat
Sisi Utara
Sisi Selatan
0.5
0.3
-
1.35
-
-
0.32
-
-
-
3000 ekor
460 btg.
53 rpn.
1500 btg.
18 btg.
70 btg.
21.300 rpn
-
-
-
272 kg
513.5 kg
636 sisir
1.8 ton
1.2 ton
140 kg
5.3 ton
-
-
-
4 080 000,-
4 621 500,-
318 000,-
7 200 000,-
4 200 000,-
35 000,-
13 845 000,-
-
-
-
Jumlah
2.47
-
-
34 299 500,-
Sumber: Abdul-Rauf (2001)

PERANAN AGROFORESTRY DALAM PENYELAMATAN LINGKUNGAN

1.      Penanggulangan Erosi
Erosi yang terjadi di lahan agroforestry semuanya berada di bawah erosi yang diperbolehkan, sedangkan erosi yang terjadi pada lahan pertanian monokultur (intensif) merupakan erosi yang membahayakan (jauh lebih besar dari erosi diperbolehkan) sebagaimana disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Erosi pada tipe agroforestry dan lahan pertanian  di kawasan penyangga TNGL Kabupaten Langkat pada kemiringan lereng 15-25%.

Tipe Penggunaan Lahan
Erosi aktual (ton/ha/thn)
Erosi diperbolehkan (ton/ha/thn)
Agrosilvicultural
Agrosilvopastural
Agroaquaforestry
Pertanian monokultur
24.69
10,48
12,49
136,79
31,60
30,60
29,45
31,25
Sumber: Abdul-Rauf (2004)

Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa erosi yang terjadi pada sistem agroforestry tergolong tidak membahayakan karena lebih kecil dari erosi yang diperbolehkan (Edp) pada masing-masing lahan agroforestry tersebut. Sedangkan pada sistem pertanian intensif (monokultur) erosi aktual yang terjadi jauh lebih besar (4,4 kali) dibandingkan Edp di lahan tersebut. Hal ini dapat terjadi karena pada sistem pertanian intensif (umumnya tanaman padi gogo, jagung dan kacang tanah) lahan lebih terbuka sehingga enegi kinetik hujan dapat langsung memukul dan memecah butir-butir tanah yang kemudian terbawa oleh aliran permukaan (run-off). Erosi pada tipe Agrosilvicultural lebih besar dibandingkan erosi pada tipe agroforestry lainnya. Hal ini dapat terjadi karena pada tipe Agrosilvicultural ini lahan relatif lebih banyak terbuka dibandingkan pada tipe lainnya. Sistem pertanaman pada tipe ini umumnya sistem lorong (alley cropping) sehingga pada areal lahan pertanian diantara barisan tanaman pagar lebih terbuka dan memungkinkan terjadinya erosi yang lebih besar meskipun tidak melebihi erosi yang diperbolehkan.

2.      Total Biomassa dan Penambatan Karbon
            Hasil penghitungan total biomassa dan karbon tegakan pada bebarapa subtipe agroforestry di Kawasan Penyangga TNGL yang disertai dengan persentase total karbon tanahnya per hektar pada kedalaman 20 cm, disajikan pada Tabel 4. 
Tabel 4. Biomassa dan total karbon (C) tegakan dan tanah pada beberapa subtipe agroforestry di kawasan penyangga TNGL Kab. Langkat.
Subtipe Agroforestry dan Jenis Penggunaan Lahan lainnya
Biomassa Vegetasi
(ton/ha)*)
C- Vegetasi*)
C- Tanah**)
%
Ton/ha
%
Ton/ha
1.         Agrosilvicultural (perkebunan + padi gogo + buah), hutan rakyat.
2.         Agrosilvicultural (perkebunan + jagung ), hutan lindung
3.         Agrosilvicultural (perkebunan + cabai + tomat), hutan lindung
4.         Agrosilvicultural (kayu + padi  gogo + cabai)
5.         Agrosilvicultural (kayu + kopi + jagung)
6.         Agrosilvicultural (kayu + jahe + kulit manis)
7.         Agrosilvopastural (kayu + karet + durian + rumput)
8.         Agrosilvopastural (kayu + kulit manis + nangka + rumput)
9.         Agrosilvopastural (kulit manis + petai + rumput)
10.     Pertanian monokultur (jagung)
11.     Pertanian monokultur (padi gogo + cabai)
12.     Hutan alami

  24.56

  60.34

  37.59

  48.81

  46.73

  89.09

  85.22

  29.96

197.34
  12.52

    9.55
616.40

36.69

41.50

37.54

41.50

36.76

43.73

45.61

41.69

45.03
22.76

22.72
48.69

    9.01

  25.04

  14.11

  20.26

  17.18

  38.96

  38.87

  12.49

  88.87
    2.85

    2.17
300.15

7.71

5.57

5.17

6.34

5.61

3.54

6.92

4.86

7.86
5.56

3.48
8.22

129.53

106.94

99.26

162.02

117.88

  61.60

150.86

  97.20

138.34
121.21

  64.03
157.82
*)   total dari semua jenis komponen penyusun dalam subtipe agroforestry
**) pada tanah lapisan atas (kedalaman 20 cm)
Sumber: Abdul-Rauf (2007)

Dari Tabel 4 dapat diketahui bahwa biomassa dan karbon total tegakan tertinggi dijumpai pada sistem hutan alami. Sedangkan biomassa dan karbon total tertinggi dari lahan yang telah dibuka (dimanfaatkan) oleh manusia, dijumpai pada subtipe agrosilvopastural dengan struktur atau komponen penyusun utama terdiri dari kulit manis, petai papan serta vegetasi rumput di bawah tegakan tanaman pohonnya, sebesar 88,87 ton per hektar. Total karbon tegakan terendah dijumpai pada sistem penggunaan lahan untuk pertanian monokultur (padi gogo, dan cabai) hanya sebesar 2,17 ton per hektar atau sekitar dari 10,3 kali lebih kecil dibandingkan rerata total karbon tegakan pada sistem agroforestry.
Tabel 4 juga menunjukkan bahwa total karbon tanah yang lebih tinggi selalu diikuti dengan total bioamassa dan karbon tegakan (vegetasi) yang lebih rendah. Total karbon tanah yang lebih tinggi tersebut umumnya dijumpai pada sub tipe agrosilvicultural dibandingkan pada subtipe agrosilvopastural. Sementara total biomassa umumnya lebih tinggi pada tipe agrosilvopastural, kecuali dibandingkan pada sistem hutan alami.
            Dibandingkan potensi biomassa dan karbon total pada hutan primer, maka potensi biomassa dan karbon total pada tipe agrosilvopastural dan agrosilvicultural di kawasan penyangga TNGL ini masing-masing sekitar 3-6 dan 6-12 kali lebih kecil dari potensi biomassa dan karbon total pada hutan primer tersebut. Potensi biomassa hutan primer hasil penelitian Istomo (2002) sebesar 329.18 ton per hektar, sedangkan dari hasil penelitian ini sebesar 616.4 ton perhektar. Namun demikian, potensi biomassa dan karbon total tegakan pada tipe agrosilvopastural dan agrosilvicultural di kawasan penyangga TNGL ini, masing-masing sekitar 16,4 dan 7,3 kali lebih besar, bila dibandingkan dengan potensi biomassa dan karbon tegakan yang dijumpai pada sistem pertanian monokultur, yang berarti tipe agrosilvopasltural lebih mendekati sistem hutan alami, sedangkan tipe agrosilvicultural lebih mendekati sistem pertanian monokultur bila ditinjau dari potensi biomassa dan total karbon tegakannya.

3.      Kapasitas Infiltrasi dan Limpasan Permukaan
Kapasitas infiltrasi tanah pada system agroforestry umumnya 1,3-2,0 kali lebih besar dibandingkan pada system pertanian monokultur. Ini berarti kemampuan tanah dalam menyerap air pada system agroforestry lebih besar dibandingkan pada system pertanian monokultur. Akibat daya serap tanah yang lebih kecil pada system pertanian monokultur menyebabkan limpasan permukaan lebih besar, demikian sebaliknya, limpasan permukaan pada system agroforestry lebih kecil karena daya serap tanahnya terhadap air lebih besar (Tabel 5).

Tabel 5. Kapasitas  infiltrasi  dan  limpasan  permukaan  pada tipe agroforestry dan lahan pertanian  di kawasan penyangga TNGL Kabupaten Langkat.

Tipe Penggunaan Lahan
Kapasitas Infiltrasi
(cm/jam)
Limpasan Permukaan (%/hujan)
Agrosilvicultural
Agrosilvopastural
Pertanian monokultur
65,23
42,92
33,22
35,07
39,00
45,50
Sumber: Abdul-Rauf (2004)

Kapasitas infiltrasi tanah yang tinggi memungkinkan tanah pada system agroforestry dapat menahan air lebih banyak, yang berarti system agroforestry ini memiliki peranan lebih besar dalam memitigasi banjir. Dengan selisih antara kapasitas infiltrasi pada tipe agrosilvikultural dengan kapasitas infiltrasi pada pertanian monokultur sebesar 32,01 cm/jam, berarti pada tipe ini dapat menyerap air 3.201.000.000 cm3 atau 3201 m3 atau 3.201.000 liter lebih banyak dibandingkan pada sistem pertanian monokultur untuk setiap 1 hektar lahan pada setiap 1 jam kejadian hujan. Demikian halnya pada tipe agrosilvopastual yang dapat menyerap air sebesar 970 m3 lebih banyak dibandingkan pada sistem pertanian monokultur untuk setiap hektar lahan pada setiap 1 jam kejadian hujan. Lebih tingginya kapasitas infiltrasi pada tipe agrosilvikultural dibandingkan pada tipe agrosivopastural dapat terjadi karena pada permukaan tanah yang ditumbuhi rerumputan rapat (pada tipe agrosilvopastural) dapat menghalangi/mengurangi tanah dalam menyerap air lebih banyak dibandingkan pada tipe agrosilvikultural yang tingkat penutupan permukaan tanahnya lebih kecil (permukaan tanah lebih terbuka).

KESIMPULAN
1. Sistem agroforestry bersifat komersial di kawasan penyangga TNGL yang dijalankan dengan mempertimbangkan input dan output yang optimal dapat menghasilkan pendapatan yang melebihi kebutuhan hidup layak (KHL) keluarga petani untuk setiap hektar lahan yang diusahakan.
2.   Alokasi penggunaan lahan optimal untuk sistem agroforestry di kawasan penyangga TNGL Kabupaten Langkat adalah 64-68% untuk penanaman pohon sungkai (Peronema canescens), 13-32% untuk padi gogo, 13-20% untuk jagung dan 10-13% untuk cabai merah. Di bawah tegakan pohon sungkai harus ditanami tanaman yang resisten terhadap kelangkaan cahaya matahari seperti tanaman obat (kencur, kunyit atau asam kincong), rempah, rumput dan atau pengembalian sisa tanaman ke permukaan tanah sebagai mulsa organic dengan luas lahan garapan minimal 1.18 hektar.
3.   Sistem agroforestry yang lebih sesuai dan berkesinambungan (pendapatan mencapai kebutuhan hidup layak, lahan tidak terdegradasi dan layak agroteknologi) untuk diterapkan di kawasan penyangga TNGL Kabupaten Langkat adalah tipe Agrosilvopastural yang merupakan kombinasi pepohonan/tanaman hutan, tanaman pertanian, dan rumput pakan ternak, karena lahan umunya curam sampai sangat curam, solum tanah dangkal dan struktur tanah gembur.
4.   Erosi yang terjadi pada lahan agroforestry di kawasan penyangga TNGL Kabuaten Langkat tidak membahayakan karena lebih kecil dari erosi yang diperbolehkan (<31,6 ton/ha/thn), sedangkan erosi yang terjadi pada lahan pertanian intensif (monokultur) sekitar 136,79 ton/ha/thn atau 4,4 kali lebih besar dibandingkan erosi yang diperbolehkan.
5.   Total biomassa dan karbon tegakan pada sistem agroforestry dengan tipe agrosilvopastural masing-masing sebesar 104.17 dan 46.74 ton per hektar hampir sama dengan total biomassa dan karbon total tegakan pada hutan mangrove Rhizophora apiculata dengan kerapatan 463 pohon per hektar yang masing-masing sebesar 169.46 (biomassa) dan 47.08 (karbon) ton per hektar.
6.    Sistem agroforestry dapat berperan dalam memitigasi banjir karena dapat menyerap air hujan sebesar 970-3.200 m3 lebih banyak dibandingkan pada sistem pertanian monokultur untuk setiap hektar lahan pada setiap 1 jam kejadian hujan. Volume total air hujan yang dapat diserap oleh tanah pada sistem agroforestry di kawasan penyangga TNGL mencapai 4.292-6.523 m3/ha/jam, sedangkan pada pertanian monokultur sekitar 3.322 m3/ha/jam

DAFTAR PUSTAKA
Abdul-Rauf. 2007. Potensi biomassa dan penambatan karbon pada sistem agroforestry. Makalah pada Kongres dan Seminar Nasional MKTI, Cisarua Bogor, 17-18 Desember 2007.

Abdul-Rauf. 2004. Kajian sistem dan optimasi penggunaan lahan agroforestry di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser. Studi kasus di Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.

Abdul-Rauf. 2001. Kajian Sosial Ekonomi Sistem Agroforestry di Kawasan Penyangga Ekosistem Leuser; Studi Kasus di Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Unit Managemen Leuser (UML), Medan.

Chundawat, B.S., and S.K. Gautam, 1993. Textbook of Agroforestry. Oxford & IBH Publishing Co. Pvt. Ltd. New Delhi.

Hilmi, E. 2003. Model pendugaan kandungan karbon pada pohon kelompok jenis Rhizopora Sp dan Brugueira Spp. dalam tegakan hutan mangrove. Studi Kasus di Kabupaten Indragiri Hilir Riau.Disertasi PPS IPB Bogor.

Istomo. 2002. Kandungan P dan Ca serta penyebaran pada tanah dan tumbuhan hutan rawa gambut. Studi kasus di Kabupaten Rokan Hilar Riau. Disertasi PPS IPB Bogor.

Lal, R. 1995. Sustainable Management of Soil Resources in the Humid Tropics. United Nation University Press, Tokyo.

Mantra, I.B. 1996. Mobilitas Non-permanen Penduduk Pedesaan: Suatu Strategi Meningkatkan Pendapatan Rumah Tangga. Dalam M.T.F.Sitorus, A.Supriono, T. Sumantri dan Gunardi (eds). Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia. Penerbit PT. Grasindo, Jakarta. Hal.: 61-77.

Nair, P.K.R. 1989a. Agroforestry defined. In P.K.R. Nair (ed). Agroforestry Systems in the Tropics.  Kluwer Academic Publishers, The Netherlands. pp.13-20.

Nair, P.K.R. 1989b. Agroforestry systems, practices and technologies. In P.K.R. Nair (ed). Agroforestry Systems in the Tropics.  Kluwer Academic Publishers, The Netherlands. pp.53-62.

Nair, P.K.R. 1989c. Ecological spread of agroforestry systems. In P.K.R. Nair (ed). Agroforestry Systems in the Tropics.  Kluwer Academic Publishers, The Netherlands. pp.63-73.

Sajogyo, 1977. Garis Miskin dan Kebutuhan Minimum Pangan. Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesaan (LPSP) IPB Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar