SISTEM AGROFORESTRY OPTIMAL UNTUK KEBERKELANJUTAN PEMANFAATAN LAHAN MARGINAL
(Kasus di Kawasan Penyangga Taman Nasional Gunung
Leuser Kabupaten Langkat Sumatera
Utara)
Oleh: Abdul Rauf
Staf Pengajar Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian USU
Jl. Prof. A. Sofyan No. 3 Kampus USU Medan 20155
ABSTRAK
Agroforestry sebagai suatu sistem
managemen pemanfaatan lahan yang mengusahakan produksi biologis berdaur pendek dan berdaur panjang (kombinasi komoditi
kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan atau perikanan) pada suatu tapak di dalam dan atau di luar kawasan hutan, tidak seluruhnya optimal dalam menjamin keberlanjutan pemanfatan lahan marginal
dan atau kelestarian lingkungan. Sistem Agroforestry di kawasan penyangga Taman
Nasional Gunung Leuser (TNGL) Kabupaten
Langkat Sumatera Utara yang dibangun oleh pemilik lahan dengan kombinasi
pepohonan hutan dan tanaman pertanian (tipe Agrosilvikultural) pada kemiringan
lereng >25% masih menimbulkan erosi sebesar 136,79 ton/ha/thn, sementara
pada tipe Agrosilvopastural dan Agroaquaforestry erosi yang terjadi masing-masing
sebesar 79,84 ton/ha/thn dan 75,49 ton/ha/thn. Nilai erosi ini masih lebih
tinggi dari erosi yang diperbolehkan (ditoleransikan) di lokasi tersebut
sebesar 31,25 ton/ha/thn. Analisis optimasi menggunakan Program Tujuan Ganda (Multiple Goal Programming) mendapatkan
bahwa sistem agroforestry yang dapat mengendalikan erosi ke tingkat yang
diperbolehkan adalah dengan alokasi penggunaan lahan 66-68% untuk tanaman pohon,
13-31% untuk tanaman pangan, 13-20% untuk palawaija, dan 10-13% untuk sayuran dengan
tanaman rumput atau tanaman obat berjarak tanam rapat mengisi bagian lahan di sekitar
pangkal batang tanaman pohon. Untuk mendapatkan hasil yang dapat memenuhi
kebutuhan hidup layak bagi petaninya luas minimal lahan agroforestry sebesar
1,18 hektar untuk setiap keluarga dengan anggota keluarga maksimal 5 jiwa.
Kata kunci: agroforestry optimal,
erosi, lahan marginal.
PENDAHULUAN
Salah satu dari demikian banyak batasan tentang agroforestry adalah sistem
penggunaan lahan yang berorientasi sosial dan ekologikal dengan mengintegrasikan
pepohonan (hutan) dengan tanaman pertanian dan atau ternak secara simultan atau
berurutan untuk mendapatkan total produksi tanaman (termasuk serat dan papan)
dan atau hewan secara berkelanjutan (orientasi ekonomis) dari satu unit lahan
dengan input teknologi yang sederahana dan pada lahan marginal (potensial
kritis) (Nair, 1989a).
Berdasarkan batasan tersebut dapat
diketahui bahwa sistem agroforestry memiliki fungsi dengan dimensi yang luas,
tidak hanya sebagai penghasil produk pertanian (termasuk kayu dan ternak) yang
tampak nyata dan dapat dipasarkan (tangible
and marketable), tetapi juga sebagai penghasil jasa yang tidak tampak nyata
(intangible). Fungsi sebagai
penghasil produk pertanian atau fungsi ekonomis dari sistem agroforestry
meliputi peningkatan output karena lebih bervariasinya produk yang diperoleh
(pangan, papan, serat, kayu, bahan bakar, pupuk hijau, pakan ternak dan pupuk
kandang), memperkecil kegagalan panen karena kegagalan atau merosotnya harga
panen dari salah satu komponen penyusun agoforestry dapat ditutupi oleh panen
dari komponen penyususn lainnya, stabilitas dan peningkatan pendapatan petani
terjamin karena satu paket input yang diberikan menghasilkan output yang
bervariasi dan berkelanjutan (Nair, 1989b; Chundawat and Gautam, 1993; Lal, 1995).
Sedangkan fungsi penghasil
jasa yang tidak tampak nyata dari sistem agroforestry antara lain adalah
stabilisasi kualitas lingkungan seperti memitigasi banjir, pengendali erosi
tanah, pemelihara pasokan air tanah, penambat karbon, penyejuk dan penyegar
udara, dan pemelihara keanekaragaman hayati), serta menciptakan panorama
(keindahan) dan daya tarik pedesaan (Nair, 1989c; Chundawat and Gautam,
1993; Lal, 1995)).
PERANAN AGROFORESTRY DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN HIDUP LAYAK
Kebutuhan hidup layak (KHL)
sebuah keluarga atau kebutuhan hidup yang berada pada ambang kecukupan terjadi
apabila keluarga tersebut memiliki penghasilan sekurang-kurangnya 2,5 kali
kebutuhan hidup minimum (KHM). Menurut Sajogyo (1977) KHM yang merupakan
standar minimal penghasilan untuk sekedar bertahan hidup per kapita per tahun
di pedesaan nilainya rata-rata setara dengan 320 kilogram beras. Untuk mencapai
kebutuhan hidup layak (KHL), suatu keluarga harus berpenghasilan yang dapat
memenuhi KHM sekaligus dapat membiayai sekolah anak-anaknya, berobat bila
sakit, memenuhi sarana prasarana kehidupan sehari-hari, membiayai kegiatan
sosial, dan menabung (2,5 kali KHM).
Hasil
penelitian Abdul-Rauf (2001) menunjukkan bahwa 95,49% keluarga petani yang
menerapkan sistem agroforestry di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung
Leuser (TNGL) memiliki penghasilan di atas KHM, 30,82% diantaranya
berpenghasilan di atas KHL, dan hanya 4,51% petani agroforestry di daerah itu
yang berpenghasilan di bawah KHM. Dengan harga beras sebesar Rp.6.500,- per
kilogram misalnya, maka nilai KHM setiap keluarga petani dengan 5 orang anggota
keluarga sebesar Rp.10.400.000,- per tahun, sedangkan nilai KHL-nya sebesar
minimal Rp.26.000.000,- per tahun.
Terdapatnya petani
agroforestry di kawasan penyangga TNGL yang masih berpenghasilan di bawah KHM
karena dalam menjalankan sistem agroforestrynya masih bersifat subsisten yaitu
output yang dihasilkan hanya mengandalkan input sekedarnya saja dan umumnya terbentuk
dari sistem perladangan berpindah yang kemudian sebagian tapak lahan ditanami
bambu, kemiri, pinang dan tanaman tahunan lainnya. Keberadaan tanaman pertanian
di antara pepohonan hutan tersebut hanya ditujukan untuk pengamanan lahan
(mempertegas status lahan) atas kepemilikan dari keluarga petani tertentu.
Petani agroforestry di kawasan
penyangga TNGL yang berpenghasilan di atas KHM tetapi belum mencapai KHL
(berpenghasilan Rp.10.400.000,- hingga Rp.26.000.000,- per tahun) adalah
kelompok petani yang menjalankan sistem agroforestrynya secara (bersifat)
intermediet yaitu tingkat pengelolaan dan pencapaian output yang medium, meski
tetap mempertimbangkan input namun pada tingkat yang tidak optimal.
System agroforestry yang
dijalankan dengan prinsip komersial yaitu pengelolaannya telah mempertimbangkan
input dan output yang optimal umumnya dapat menghasilkan pendapatan melebihi
nilai KHL (> Rp.26.000.000,- per tahun). Komponen agroforestrynya diperkaya
dengan menyertakan agroteknologi yang memadai dan disesuaikan dengan kondisi
lahan sehingga fungsi proteksi (perlindungan) dan keberlanjutan juga terwujud,
sebagaimana tergambar pada Tabel 1-2.
Dari Tabel 1-2 dapat diketahui bahwa penghasilan dari
system agroforestry yang diterapkan secara intensif (bersifat komersial) dengan
mengkombinasikan komoditi bernilai ekonomis tinggi dan agroteknologi yang
memadai serta spesifik lokasi dapat melampaui KHL untuk setiap hektar lahan
yang diusahakan. Pada tipe agrosilvikultural yang mengkombinasikan 10 komoditi
dan masih terdapat 6 komoditi yang belum menghasilkan (Tabel 1; Gambar 1) dapat
memperoleh penghasilan Rp. 26 437 000,- per hektar per tahun yang melampaui nilai KHL sebesar
Rp.26.000.000,- per tahun. Hal yang sama terjadi pada tipe agroaquaforestry
(Tabel 2; Gambar 3) dengan penghasilan Rp. 34 299 500,- per hektar per tahun.
Tabel 1. Komposisi dan produksi dari tipe Agrosilvikultural Model Agen Sembiring di kawasan penyangga TNGL, Dusun Seberaya Atas Desa Garunggang Kec. Kuala Kab.Langkat
Jenis Komoditi
|
Kedudukan dalam Lahan
|
Luas Lahan (Ha.)
|
Populasi
|
Produksi
|
|
Volume Panen/thn
|
Nilai Uang (Rp/thn)
|
||||
1.
Padi Gogo
2.
Cabai Merah
3.
Kopi Ateng
4.
Jeruk Manis
5.
Kulit Manis
6.
Aren
7.
Durian
8.
Sengon
9.
Pinang
10. Mahoni
11. Hutan Rakyat
|
Sisi
Timur – Tengah
Diantara
Padi Gogo
Sisi
Barat – Selatan
Sisi
Barat
Diantara
Padi Gogo
Diantara
Padi Gogo
Sisi
Barat
Diantara
Padi Gogo
Pembatas
Lahan
Diantara
Pinang
Sisi
Selatan – Barat
|
0.72
-
0.60
0.20
-
-
0.06
-
-
-
-
|
14400 rpn
14400 rpn
1500 phn
220 phn
7 phn
5 phn
12 phn
5 phn
100 phn
30 phn
-
|
13.68 ton
1.62 ton
3.35 ton
tbm*)
tbm
408 kg
tbm
tbm
tbm
tbm
-
|
1 944 000,-
11 340 000,-
11 725 000,-
-
-
1 428 000,-
-
-
-
-
-
|
Jumlah
|
1.58
|
-
|
-
|
26 437 000,-
|
Sumber: Abdul-Rauf (2001) *)
tbm = tanaman belum menghasilkan
Tabel 2. Komposisi dan produksi dari tipe Agroaquaforestry Model Rasta Sitepu di
kawasan penyangga TNGL, Dusun Pamah Semilir Desa Telagah Kec. Sei Bingei
Kab.Langkat
Jenis Komoditi
|
Kedudukan dalam Lahan
|
Luas Lahan (Ha.)
|
Populasi
|
Produksi
|
|
Volume Panen/thn
|
Nilai Uang (Rp/thn)
|
||||
1.
Kolam
2.
Kopi
3.
Pisang
4.
Kulit Manis
5.
Aren
6.
Ubi Kayu
7.
Jahe
8.
Hutan Lindung
9.
Hutan Rakyat
10. Semak
|
Bagian
tengah
Sisi
Selatan
Diantara
kopi
Sisi
Timur s/d Utara
Diantara
Kopi/K.Manis
Diantara
K.Manis
Sisi
Barat
Setelah
Jahe/Sisi Barat
Sisi
Utara
Sisi
Selatan
|
0.5
0.3
-
1.35
-
-
0.32
-
-
-
|
3000 ekor
460 btg.
53 rpn.
1500 btg.
18 btg.
70 btg.
21.300 rpn
-
-
-
|
272 kg
513.5 kg
636 sisir
1.8 ton
1.2 ton
140 kg
5.3 ton
-
-
-
|
4 080 000,-
4 621 500,-
318 000,-
7 200 000,-
4 200 000,-
35 000,-
13 845 000,-
-
-
-
|
Jumlah
|
2.47
|
-
|
-
|
34 299 500,-
|
Sumber: Abdul-Rauf (2001)
PERANAN AGROFORESTRY DALAM PENYELAMATAN LINGKUNGAN
1.
Penanggulangan Erosi
Erosi
yang terjadi di lahan agroforestry semuanya berada di bawah erosi yang
diperbolehkan, sedangkan erosi yang terjadi pada lahan pertanian monokultur
(intensif) merupakan erosi yang membahayakan (jauh lebih besar dari erosi
diperbolehkan) sebagaimana disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3.
Erosi pada tipe agroforestry dan lahan pertanian di kawasan penyangga TNGL Kabupaten Langkat
pada kemiringan lereng 15-25%.
Tipe
Penggunaan Lahan
|
Erosi
aktual (ton/ha/thn)
|
Erosi
diperbolehkan (ton/ha/thn)
|
Agrosilvicultural
Agrosilvopastural
Agroaquaforestry
Pertanian monokultur
|
24.69
10,48
12,49
136,79
|
31,60
30,60
29,45
31,25
|
Sumber: Abdul-Rauf (2004)
Dari
Tabel 3 dapat diketahui bahwa erosi yang terjadi pada sistem agroforestry
tergolong tidak membahayakan karena lebih kecil dari erosi yang diperbolehkan
(Edp) pada masing-masing lahan agroforestry tersebut. Sedangkan pada sistem
pertanian intensif (monokultur) erosi aktual yang terjadi jauh lebih besar (4,4
kali) dibandingkan Edp di lahan tersebut. Hal ini dapat terjadi karena pada
sistem pertanian intensif (umumnya tanaman padi gogo, jagung dan kacang tanah)
lahan lebih terbuka sehingga enegi kinetik hujan dapat langsung memukul dan
memecah butir-butir tanah yang kemudian terbawa oleh aliran permukaan (run-off). Erosi pada
tipe Agrosilvicultural lebih besar
dibandingkan erosi pada tipe agroforestry lainnya. Hal ini dapat terjadi karena
pada tipe Agrosilvicultural ini lahan
relatif lebih banyak terbuka dibandingkan pada tipe lainnya. Sistem pertanaman
pada tipe ini umumnya sistem lorong (alley
cropping) sehingga pada areal lahan pertanian diantara barisan tanaman
pagar lebih terbuka dan memungkinkan terjadinya erosi yang lebih besar meskipun
tidak melebihi erosi yang diperbolehkan.
2.
Total Biomassa dan Penambatan Karbon
Hasil penghitungan
total biomassa dan karbon tegakan pada bebarapa subtipe agroforestry di Kawasan
Penyangga TNGL yang disertai dengan persentase total karbon tanahnya per hektar
pada kedalaman 20 cm, disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Biomassa dan total
karbon (C) tegakan dan tanah pada beberapa subtipe agroforestry di kawasan
penyangga TNGL Kab. Langkat.
Subtipe Agroforestry dan Jenis
Penggunaan Lahan lainnya
|
Biomassa Vegetasi
(ton/ha)*)
|
C- Vegetasi*)
|
C- Tanah**)
|
||
%
|
Ton/ha
|
%
|
Ton/ha
|
||
1.
Agrosilvicultural (perkebunan + padi gogo + buah),
hutan rakyat.
2.
Agrosilvicultural (perkebunan + jagung ), hutan lindung
3.
Agrosilvicultural (perkebunan + cabai + tomat), hutan
lindung
4.
Agrosilvicultural (kayu + padi gogo + cabai)
5.
Agrosilvicultural (kayu + kopi + jagung)
6.
Agrosilvicultural (kayu + jahe + kulit manis)
7.
Agrosilvopastural (kayu + karet + durian + rumput)
8.
Agrosilvopastural (kayu + kulit manis + nangka +
rumput)
9.
Agrosilvopastural (kulit manis + petai + rumput)
10. Pertanian monokultur
(jagung)
11. Pertanian monokultur
(padi gogo + cabai)
12. Hutan alami
|
24.56
60.34
37.59
48.81
46.73
89.09
85.22
29.96
197.34
12.52
9.55
616.40
|
36.69
41.50
37.54
41.50
36.76
43.73
45.61
41.69
45.03
22.76
22.72
48.69
|
9.01
25.04
14.11
20.26
17.18
38.96
38.87
12.49
88.87
2.85
2.17
300.15
|
7.71
5.57
5.17
6.34
5.61
3.54
6.92
4.86
7.86
5.56
3.48
8.22
|
129.53
106.94
99.26
162.02
117.88
61.60
150.86
97.20
138.34
121.21
64.03
157.82
|
*) total
dari semua jenis komponen penyusun dalam subtipe agroforestry
**) pada tanah lapisan atas (kedalaman 20 cm)
Sumber: Abdul-Rauf (2007)
Dari Tabel 4 dapat diketahui bahwa biomassa dan karbon total tegakan tertinggi dijumpai pada sistem hutan alami. Sedangkan biomassa dan karbon total tertinggi dari lahan yang telah dibuka (dimanfaatkan) oleh manusia, dijumpai pada subtipe agrosilvopastural dengan struktur atau komponen penyusun utama terdiri dari kulit manis, petai papan serta vegetasi rumput di bawah tegakan tanaman pohonnya, sebesar 88,87 ton per hektar. Total karbon tegakan terendah dijumpai pada sistem penggunaan lahan untuk pertanian monokultur (padi gogo, dan cabai) hanya sebesar 2,17 ton per hektar atau sekitar dari 10,3 kali lebih kecil dibandingkan rerata total karbon tegakan pada sistem agroforestry.
Tabel 4 juga menunjukkan bahwa
total karbon tanah yang lebih tinggi selalu diikuti dengan total bioamassa dan
karbon tegakan (vegetasi) yang lebih rendah. Total karbon tanah yang lebih
tinggi tersebut umumnya dijumpai pada sub tipe agrosilvicultural dibandingkan pada subtipe agrosilvopastural. Sementara total biomassa umumnya lebih tinggi
pada tipe agrosilvopastural, kecuali
dibandingkan pada sistem hutan alami.
Dibandingkan
potensi biomassa dan karbon total pada hutan primer, maka potensi biomassa dan
karbon total pada tipe agrosilvopastural
dan agrosilvicultural di kawasan
penyangga TNGL ini masing-masing sekitar 3-6 dan 6-12 kali lebih kecil dari
potensi biomassa dan karbon total pada hutan primer tersebut. Potensi biomassa
hutan primer hasil penelitian Istomo (2002) sebesar 329.18 ton per hektar,
sedangkan dari hasil penelitian ini sebesar 616.4 ton perhektar. Namun
demikian, potensi biomassa dan karbon total tegakan pada tipe agrosilvopastural dan agrosilvicultural di kawasan penyangga
TNGL ini, masing-masing sekitar 16,4 dan 7,3 kali lebih besar, bila
dibandingkan dengan potensi biomassa dan karbon tegakan yang dijumpai pada
sistem pertanian monokultur, yang berarti tipe agrosilvopasltural lebih mendekati sistem hutan alami, sedangkan
tipe agrosilvicultural lebih
mendekati sistem pertanian monokultur bila ditinjau dari potensi biomassa dan
total karbon tegakannya.
3.
Kapasitas Infiltrasi dan Limpasan Permukaan
Kapasitas infiltrasi tanah pada system agroforestry
umumnya 1,3-2,0 kali lebih besar dibandingkan pada system pertanian monokultur.
Ini berarti kemampuan tanah dalam menyerap air pada system agroforestry lebih
besar dibandingkan pada system pertanian monokultur. Akibat daya serap tanah
yang lebih kecil pada system pertanian monokultur menyebabkan limpasan
permukaan lebih besar, demikian sebaliknya, limpasan permukaan pada system
agroforestry lebih kecil karena daya serap tanahnya terhadap air lebih besar
(Tabel 5).
Tabel 5.
Kapasitas infiltrasi dan
limpasan permukaan pada tipe agroforestry dan lahan
pertanian di kawasan penyangga TNGL
Kabupaten Langkat.
Tipe
Penggunaan Lahan
|
Kapasitas
Infiltrasi
(cm/jam)
|
Limpasan
Permukaan (%/hujan)
|
Agrosilvicultural
Agrosilvopastural
Pertanian monokultur
|
65,23
42,92
33,22
|
35,07
39,00
45,50
|
Sumber: Abdul-Rauf (2004)
Kapasitas infiltrasi tanah
yang tinggi memungkinkan tanah pada system agroforestry dapat menahan air lebih
banyak, yang berarti system agroforestry ini memiliki peranan lebih besar dalam
memitigasi banjir. Dengan selisih antara kapasitas infiltrasi pada tipe
agrosilvikultural dengan kapasitas infiltrasi pada pertanian monokultur sebesar
32,01 cm/jam, berarti pada tipe ini dapat menyerap air 3.201.000.000 cm3
atau 3201 m3 atau 3.201.000 liter lebih banyak dibandingkan pada
sistem pertanian monokultur untuk setiap 1 hektar lahan pada setiap 1 jam
kejadian hujan. Demikian halnya pada tipe agrosilvopastual yang dapat menyerap
air sebesar 970 m3 lebih banyak dibandingkan pada sistem pertanian
monokultur untuk setiap hektar lahan pada setiap 1 jam kejadian hujan. Lebih
tingginya kapasitas infiltrasi pada tipe agrosilvikultural dibandingkan pada
tipe agrosivopastural dapat terjadi karena pada permukaan tanah yang ditumbuhi
rerumputan rapat (pada tipe agrosilvopastural) dapat menghalangi/mengurangi
tanah dalam menyerap air lebih banyak dibandingkan pada tipe agrosilvikultural
yang tingkat penutupan permukaan tanahnya lebih kecil (permukaan tanah lebih
terbuka).
KESIMPULAN
1. Sistem agroforestry bersifat komersial di kawasan
penyangga TNGL yang dijalankan dengan mempertimbangkan input dan output yang
optimal dapat menghasilkan pendapatan yang melebihi kebutuhan hidup layak (KHL)
keluarga petani untuk setiap hektar lahan yang diusahakan.
2. Alokasi penggunaan lahan
optimal untuk sistem agroforestry di kawasan penyangga TNGL Kabupaten Langkat
adalah 64-68% untuk penanaman pohon sungkai (Peronema canescens), 13-32% untuk padi gogo, 13-20% untuk jagung
dan 10-13% untuk cabai merah. Di bawah tegakan pohon sungkai harus ditanami
tanaman yang resisten terhadap kelangkaan cahaya matahari seperti tanaman obat
(kencur, kunyit atau asam kincong), rempah, rumput dan atau pengembalian sisa
tanaman ke permukaan tanah sebagai mulsa organic dengan luas lahan garapan
minimal 1.18 hektar.
3. Sistem agroforestry yang lebih sesuai dan
berkesinambungan (pendapatan mencapai kebutuhan hidup layak, lahan tidak
terdegradasi dan layak agroteknologi) untuk diterapkan di kawasan penyangga
TNGL Kabupaten Langkat adalah tipe Agrosilvopastural yang merupakan kombinasi
pepohonan/tanaman hutan, tanaman pertanian, dan rumput pakan ternak, karena
lahan umunya curam sampai sangat curam, solum tanah dangkal dan struktur tanah
gembur.
4. Erosi yang terjadi pada lahan agroforestry di kawasan
penyangga TNGL Kabuaten Langkat tidak membahayakan karena lebih kecil dari
erosi yang diperbolehkan (<31,6 ton/ha/thn), sedangkan erosi yang terjadi
pada lahan pertanian intensif (monokultur) sekitar 136,79 ton/ha/thn atau 4,4
kali lebih besar dibandingkan erosi yang diperbolehkan.
5. Total
biomassa dan karbon tegakan pada sistem agroforestry dengan tipe agrosilvopastural masing-masing sebesar
104.17 dan 46.74 ton per hektar hampir sama dengan total biomassa dan karbon
total tegakan pada hutan mangrove Rhizophora
apiculata dengan kerapatan 463 pohon per hektar yang masing-masing sebesar
169.46 (biomassa) dan 47.08 (karbon) ton per hektar.
6. Sistem
agroforestry dapat berperan dalam memitigasi banjir karena dapat menyerap air
hujan sebesar 970-3.200 m3 lebih banyak dibandingkan pada sistem
pertanian monokultur untuk setiap hektar lahan pada setiap 1 jam kejadian
hujan. Volume total air hujan yang dapat diserap oleh tanah pada sistem
agroforestry di kawasan penyangga TNGL mencapai 4.292-6.523 m3/ha/jam,
sedangkan pada pertanian monokultur sekitar 3.322 m3/ha/jam
DAFTAR PUSTAKA
Abdul-Rauf. 2007. Potensi
biomassa dan penambatan karbon pada sistem agroforestry. Makalah pada Kongres
dan Seminar Nasional MKTI, Cisarua Bogor, 17-18 Desember 2007.
Abdul-Rauf. 2004. Kajian
sistem dan optimasi penggunaan lahan agroforestry di kawasan penyangga Taman
Nasional Gunung Leuser. Studi
kasus di Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB
Bogor.
Abdul-Rauf. 2001. Kajian Sosial Ekonomi Sistem
Agroforestry di Kawasan Penyangga Ekosistem Leuser; Studi Kasus di Kabupaten
Langkat Sumatera Utara. Unit Managemen Leuser (UML), Medan.
Chundawat, B.S., and S.K. Gautam, 1993. Textbook of
Agroforestry. Oxford & IBH Publishing Co. Pvt. Ltd. New Delhi.
Hilmi,
E. 2003. Model pendugaan kandungan karbon pada pohon kelompok jenis Rhizopora Sp dan Brugueira Spp. dalam tegakan hutan mangrove. Studi Kasus di
Kabupaten Indragiri Hilir Riau.Disertasi PPS IPB Bogor.
Istomo.
2002. Kandungan P dan Ca serta penyebaran pada tanah dan tumbuhan hutan rawa
gambut. Studi kasus di Kabupaten Rokan Hilar Riau. Disertasi PPS IPB Bogor.
Lal,
R. 1995. Sustainable Management of Soil Resources in the Humid Tropics. United
Nation University Press, Tokyo.
Mantra,
I.B. 1996. Mobilitas Non-permanen Penduduk Pedesaan: Suatu Strategi
Meningkatkan Pendapatan Rumah Tangga. Dalam
M.T.F.Sitorus, A.Supriono, T. Sumantri dan Gunardi (eds). Memahami dan
Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia. Penerbit PT. Grasindo, Jakarta. Hal.: 61-77.
Nair, P.K.R. 1989a. Agroforestry defined. In P.K.R. Nair (ed). Agroforestry
Systems in the Tropics. Kluwer Academic
Publishers, The Netherlands.
pp.13-20.
Nair,
P.K.R. 1989b. Agroforestry systems, practices and technologies. In P.K.R. Nair (ed). Agroforestry
Systems in the Tropics. Kluwer Academic
Publishers, The Netherlands.
pp.53-62.
Nair,
P.K.R. 1989c. Ecological spread of agroforestry systems. In P.K.R. Nair (ed). Agroforestry Systems in the Tropics. Kluwer Academic Publishers, The Netherlands.
pp.63-73.
Sajogyo,
1977. Garis Miskin dan Kebutuhan Minimum Pangan. Lembaga
Penelitian Sosiologi Pedesaan (LPSP) IPB Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar