Minggu, 20 April 2014

Pertanian Terpadu di Lahan Pekarangan


SISTEM PERTANIAN TERPADU DI LAHAN PEKARANGAN MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN BERKELANJUTAN DAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

Oleh: Abdul Rauf 
Dosen Ilmu Tanah FP-USU

 ABSTRAK
Pembangunan sistem pertanian terpadu telah dilakukan di salah satu lahan pekarangan warga Desa Sei Semayang Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. Di lahan seluas ± 1022 m2 terdapat pohon hutan berupa kombinasi mahoni, dan jati (berumur 11 tahun), serta trembesi, damar, jelutung dan ketapang (berumur 3 tahun), di lahan selanya dipelihara ternak kambing, ikan (kolam tanah untuk ikan lele, nila, patin, dan gurami), unggas (itik dan ayam), serta sebagian lahan ditanami tanaman pertanian (sayuran terong, cabai, rimbang, ubi kayu, dan lain-lain) dengan sistem surjan dan pot yang secara intensif dilakukan sejak Januari 2012 hingga kini. Dari pohon hutan telah dipanen 3 batang pohon mahoni untuk pembuatan kusen pintu dan jendela. Dari kolam telah dipanen ikan lele dumbo dan dari 10 ekor ternak kambing telah berkembang menjadi 14 ekor dalam 1 tahun. Dari 15 ekor induk itik dan ayam dapat dipanen rata-rata 5 butir telur per hari. Dengan demikian, sistem ini telah memberi manfaat tambahan kesejahteraan ekonomi keluarga dan perbaikan ekologi (kesejukan dan peningkatan biodiversitas) di lahan pekarangan. Pengelola sistem pertanian terpadu ini adalah Komunitas Pemuda Peduli Lingkungan (KOPPLING) Pondok Miri Desa Sei Semayang.
Kata kunci: lahan pekarangan, sistem pertanian terpadu, variasi produksi, perbaikan ekologi, KOPPLING.

PENDAHULUAN
Salah satu keuntungan/kebaikan yang diperoleh dalam penerapan sistem pertanian terpadu (termasuk sistem agroforestry) adalah terjadinya peningkatan keluaran hasil (output) yang lebih bervariasi yaitu berupa pangan, pakan, serat, kayu, bahan bakar, pupuk hijau dan atau pupuk kandang. Selain itu secara ekonomi sistem pertanian terpadu dalam bentuk sistem agroforestry memiliki keuntungan lainnya yaitu memperkecil resiko kegagalan panen (Abdul-Rauf, 2001). Gagal atau menurunnya panen dari salah satu komponen, masih dapat ditutupi oleh adanya hasil (panen) dari komponen yang lain dan meningkatkan pendapatan petani, karena input yang diberikan akan menghasilkan output yang bervariasi dan berkelanjutan.
Keuntungan lain dari diterapkannya sistem pertanian terpadu adalah terpeliharanya keragaman hayati, terutama keragaman vegetasi (tumbuhan dan tanaman). Abdul-Rauf (2004) melaporkan bahwa pada sistem pertanian terpadu dalam bentuk sistem agroforestry di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Kabupaten Langkat Sumatera Utara didapat sedikitnya 67 jenis vegetasi yang terbagi ke dalam kelompok tumbuhan hutan 7 jenis, tanaman perkebunan dan industri 23 jenis, tanaman buah-buahan 15 jenis, tanaman pangan dan palawija 7 jenis, tanaman sayuran 15 jenis, dua jenis ikan serta rumput pakan dan berbagai jenis pohon serta semak belukar pada hutan lindung dan hutan rakyat yang berdampingan dengan sistem pertanian terpadu di kawasan ini.
Manfaat lain dari sistem agroforestry yang tidak dapat diabaikaan adalah fungsi penghasil jasa yang tidak tampak nyata (intangible) terutama dalam hal stabilisasi kualitas lingkungan seperti memitigasi banjir, pengendali erosi tanah, pemelihara pasokan air tanah, penyejuk dan penyegar udara, pemelihara keanekaragaman hayati dan penambat (sink) karbon. Hasil penelitian Abdul-Rauf (2004) menunjukkan bahwa potensi biomassa dan karbon total tegakan pada tipe agrosilvopastural dan agrosilvicultural di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser, masing-masing sekitar 16,4 dan 7,3 kali lebih besar bila dibandingkan dengan potensi biomassa dan karbol tegakan yang dijumpai pada sistem pertanian monokultur. Total biomassa dan karbon tegakan pada sistem pertanian terpadu dengan tipe agrosilvopastural di kawasan ini masing-masing sebesar 104.17 dan 46.74 ton per hektar hampir sama dengan total biomassa dan karbon total tegakan pada hutan mangrove Rhizophora apiculata dengan kerapatan 463 pohon per hektar yang masing-masing sebesar 169.46 (biomassa) dan 47.08 (karbon) ton per hektar (Hilmi, 2003).
Lahan pekarangan dapat memberikan manfaat yang sangat besar dalam menunjang kebutuhan gizi keluarga disamping sekaligus untuk keindahan (estetika) bila dikelola secara optimal dan terencana. Lahan pekarangan dapat dikembangkan sebagai areal program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL), baik di tingkat rumah tangga, komunitas, dusun/lingkungan, desa/kelurahan, kecamatan, mapun kota/kabupaten. Lahan pekarangan yang selama ini selalu dimanfaatkan sebagai apotik hidup dengan menanami tanaman obat keluarga (TOGA) dan gizi hidup dengan menanam berbagai buah-buahan dan sayuran dapat dikembangkan ke dalam bentuk pertanian terpadu. Pemanfaatan lahan pekarangan untuk pemeliharaan berbagai komoditi secara bersama-sama (kombinasi) atau berurutan antara tanaman pohon (hutan) dengan komoditi pertanian (tanaman, ternak, dan atau ikan/kolam) secara optimal merupakan sebuah sistem pertanian terpadu tidak hanya memberikan hasil nyata (tangible)  produk pertanian dan kehutanan, namun sekaligus berperan dalam pelestarian lingkungan berupa kesejukan, kesegran, keindahan, biodiversitas, dan bahkan membantu memitigasi gas rumah kaca (produk intangible) di kawasan pemukiman secara berkelanjutan.
Desa Sei Semayang Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara merupakan salah satu desa di pinggiran dan diapit oleh dua kota besar, yaitu Kota Medan di sebelah Timur dan Kota Binjai di sebelah Barat. Di desa ini terdapat lebih dari 6000 KK dengan rata-rata kepemilikan lahan pekarangan seluas 200 m2. Pemanfaatan lahan pekarangan selama ini umumnya masih sebatas untuk tanaman hias di halaman depan, dan untuk ternak unggas, beberapa tanaman pohon buah-buahan, dan bahkan banyak yang diterlantarkan di halaman samping dan belakang. Untuk meninkatkan variasi jenis dan volume produksi serta bermanfaat dalam menjamin kelestarian lingkungan, maka diperlukan pengembangan pemanfaatan lahan pekarangan untuk sistem pertanian terpadu (terutama dalam bentuk sistem agroforestry), dengan mencoba salah satu lahan pekarangan rumah tangga di dusun XIII Pondok Miri Desa Sei Semayang sebagai plot contoh, yang sementara ini dibangun secara mandiri oleh pemilik lahan dengan melibatkan komunitas pemuda tani dan akademisi USU serta beberapa penggiat lingkungan di Sumatera Utara.

METODE PENGEMBANGAN
Pengembangan sistem pertanian terpadu skala lahan pekarangan di Desa Sei Semayang Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang meliputi dua tahap utama yaitu, pengembangan kelembagaan dan pengembangan teknologi.
Pengembangan Kelembagaan dilakukan dengan membentuk Komunitas Pemuda Peduli Lingkungan yang kemudian disingkat dengan “KOPPLING” di daerah ini. Pembentukan KOPPLING ini dimaksudkan untuk membina pemuda-pemudi (generasi muda) agar memiliki kepedulian terhadap pemeliharaan dan perbaikan lingkungan di tingkat tapak (dibentuk dan beranggotakan pemuda/pemudi setempat untuk memelihara dan memperbaiki lingkungan di tempat mereka berdomisili). Kelompok pemuda/pemudi yang kemudian diberi nama “KOPPLING Pondok Miri” (Pondok Miri merupakan nama dusun tempat kedudukan KOPPLING ini) merupakan salah satu bentukan/binaan/mitra kerja dari Forum DAS Wampu Sumatera Utara, dimana para penulis sebagai Pengurus Forum DAS tersebut. Salah satu program kerja/kegiatan KOPPLING Pondok Miri adalah pemanfaatan lahan pekarangan untuk meningkatkan pendapatan keluarga melalui pemberdayaan sampah organik dan kegiatan pertanian perkotaan (urban farming).
Pengembangan Teknologi sistem pertanian terpadu di lahan pekarangaan dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
1.        Menentukan lokasi pengembangan. Dalam hal ini ditetapkan lahan pekarangan milik keluarga Ibu Erlina Wati dan keluarga Supriyatmin yang saling bersebelahan di Dusun XIII Pondok Miri Gg. Pribadi Desa Sei Semayang Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang sebagai pusat kegiatan dan plot contoh.
2.        Dipilihnya lokasi ini karena telah terdapat pepohonan hutan di halaman belakang rumah keluarga ibu Erlina Wati seluas lebih kurang 400 m2 yang terdiri dari kombinasi pohon mahoni dan jati (berumur ± 11 tahun), serta trembesi, damar, jelutung dan ketapang (berumur ± 3 tahun).
3.        Di bagian lahan lainnya yang berbatasan dengan lahan milik keluarga Spriyatmin dan di lahan sela pohon hutan tersebut dikembangkan/dipelihara beberpa jenis ikan (pembuatan kolam tanah untuk budidaya ikan lele, nila, belut, dan gurami), dan budidaya tanaman pertanian (sayuran terong, cabai, rimbang, daun ubi kayu, dan lain-lain). Teknik budidayanya dilakukan dengan sistem surjan (karena sebagian lahan berupa sawah tadah hujan dengan muka air dangkal), dan sebagian lahan ditanami tanaman sayuran dengan sistem pot (polibag) dan sistem vertikultur. Kegiatan pengembangan tanaman pertanian dan kolam ikan di lahan sela dan bagian lahan sawah tadah hujan ini secara intensif dilakukan sejak Januari 2012. Di lahan seluas ± 1022 m2 tersebut saat ini merupakan kombinasi pepohonan hutan dengan tanaman pertanian (sayuran dan buah-buahan), dan kolam ikan sehingga sistem budidaya seperti ini tergolong ke dalam sistem pertanian terpadu (agroforestry) dengan tipe “Agrosilvofishery
4.        Di bagian lahan lainnya, dibangun Rumah Kompos seluas 80 m2 yang memproduksi kompos dan pupuk cair organik berbahan baku sampah organik yang berasal dari rumah tangga dan pasar-pasar tradisional di Desa Sei Semayang dan sekitarnya. Sebagian sampah organik diolah untuk pakan ternak dan pakan ikan.
5.        Dalam melengkapi sistem ini dipelihara pula ternak unggas berupa entok sebanyak 22 ekor, ayam buras (ayam kampung) 13 ekor, angsa 2 ekor, dan kambing 10 ekor.

HASIL DAN PEMBAHASAN
1.    Aspek Kelembagaan
Kegiatan pengembangan sistem pertanian terpadu pada skala lahan pekarangan di Desa Sei Semayang Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang memberikan dampak positif, tidak hanya pada pengembangan agroteknologi yang bertujuan meningkatkan produksi pangan dan papan, serta perbaikan ekologi di kawasan pemukiman, tetapi juga pada pengembangan kelembagaan pengelolaan lingkungan berbasis pengelolaan DAS. Kelembagaan yang dihasilkan pada kegiatan ini adalah Komunitas Pemuda Peduli Lingkungan (KOPPLING) Pondok Miri Desa Sei Semayang Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang yang merupakan hasil bentukan dan binaan serta menjadi mitra kerja Forum DAS Wampu Sumatera Utara.
Kehadiran KOPPLING Pondok Miri yang beranggotakan 21 orang, selain sebagai pengelolala sistem/tipe agrosilvofishery di lahan pekarangan, juga bermanfaat pada perbaikan lingkungan, terutama pengendalian sampah rumah tangga. Sebagian besar sampah organik rumah tangga dan sampah pasar-pasar tradisional yang dihasilkan di Desa Sei Semayang dan sekitarnya, khususnya di Dusun XIII Pondok Miri, telah dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kompos, pupuk cair organik, pakan ternak, dan pakan ikan di Rumah Kompos yang dibangun oleh Forum DAS Wampu bersama KOPPLING Pondok Miri.
2.    Pengembangan Sistem Pertanian Terpadu
Sistem pertanian terpadu yang terbentuk di salah satu lahan pekarangan warga Desa Sei Semayang Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang memiliki komponen penyusun sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa sistem pertanian terpadu yang dikembangkan di lahan pekarangan seluas 1.022 m2 dari 2.149,68 m2 luas total lahan pekarangan di lokasi ini (1.127,68 m2 lahan sementara belum dimanfaatkan) menghadirkan keragaman biologi (biodiversitas) mencapai 37 jenis terdiri dari 9 jenis pohon hutan, 10 jenis pohon buah-buahan dan industri, 10 jenis sayuran, 5 jenis ikan dan 3 jenis unggas serta satu jenis ternak (kambing) dengan tatal populasi mencapai 522.565 tumbuhan/tanaman dan 13.051 ekor ikan dan ternak. Dilihat dari komponen penyusunnya (Tabel 1), maka sistem pertanian terpadu ini dapat tergolong ke dalam sistem agroforestry dengan tipe agroaquaforestry (kombinasi tanaman hutan, pertanian dan ikan/kolam) dan tipe agrosilvivultur (kombinasi tanaman hutan, pertanian dan ternak).
Tabel 1.  Komponen penyusun dan produksi tipe agrosilvofishery di lahan pekarangan Dusun XIII Pondok Miri Desa Sei Semayang Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang.
No.
Komponen Penyusun
Luas (m2)
Posisi di Lahan
Populasi
Produksi
Status
Nilai Rp.
Kelompok pohon hutan:





1
Mahoni
472
Sisi Timur-Selatan
38 phn
Stp*)
5.350.000
2
Jati
-
Bersama Mahoni
6 phn
Tbm

3
Trembesi
-
Di pematang kolam
10 phn
Tbm

4
Ketapang
-
Di pematang kolam
9 phn
Tbm

5
Damar
-
Di pematang kolam
5 phn
Tbm

6
Kelor
-
Bersama Mahoni
2 phn
Tbm

7
Jabon
-
Di pematang kolam
4 phn
Tbm

8
Sengon
-
Di pematang kolam
3 phn
Tbm

9
Jelutung
-
Di pematang kolam
2 phn
Tbm

Kelompok pohon buah/industri:





1
Kakao
-
Bersama Mahoni
8 phn
Tbm

2
Pisang
-
Di pematang kolam
3 rpn
Pks
50.000
3
Mangga
-
Di pematang kolam
8 phn
Pks
225.000
4
Sawo
-
Di pematang kolam
2 phn
Tbm

5
Rambutan
-
Di pematang kolam
6 phn
Tbm

6
Sukun
-
Bersama Mahoni
1 phn
Tbm

7
Namnam
-
Bersama Mahoni
1 phn
Pks
20.000
8
Jambu air
-
Di pematang kolam
3 phn
Pks
125.000
9
Belimbing
-
Di pematang kolam
1 phn
Pks
35.000
10
Jambu bol
-
Bersama Mahoni
1 phn
Pks
12.000
Kelompok tanaman sayuran:





1
Ubi kayu (sayur)
30
Sisi Timur-Utara
750 tan
Stp
50.000
2
Bayam
30
Bagian tengah lahan
500.000 tan
Stp
1.750.000
3
Kangkung
30
Bagian tengah lahan
18.000 tan
Stp
750.000
4
Sawi hijau
30
Bagian tengah lahan
1.500 rpn
Stp
500.000
5
Kacang panjang
30
Bagian tengah lahan
562 tan
Stp
250.000
6
Gambas
22,5
Sisi Barat-Utara
1.500 tan
Stp
150.000
7
Terong
-
Di polibag di sisi parit
42 tan
Stp
75.000
8
Paria
-
Di polibag di sisi parit
21 tan
Stp
25.000
9
Cabai merah/besar
12
Sisi Utara
48 tan
Stp
230.000
10
Cabai kecil/rawit
12
Sisi Utara
21 tan
Stp
150.000
Kolam ikan:





1
Lele dumbo
96
Sisi Utara
8000 ekor
300 kg
3.600.000
2
Gurami
30
Sisi Barat
1000 ekor
Tbm

3
Nila
30
Sisi Barat
1000 ekor
Tbm

4
Patin
15
Bagian tengah lahan
1500 ekor
Tbm

5
Bawal air tawar
15
Bagian tengah lahan
1500 ekor
Tbm

6
Belut
(6)
Lahan sela Mahoni
1000 ekor
Tbm

Ternak





1
Entok
185
Sisi Barat-Selatan
22
Tbm

2
Ayam buras
-
Bersama entok
13
Tbm

3
Angsa
-
Bersama entok
2
Tbm

4
Kambing
15
Bagian tengah lahan
10
4 ekor
2.800.000
Jumlah
1022
-


16.147.000
Ket.: *) Stp: sebagian telah dipanen; Tbm: tan./ternak belum menghasilkan; Pks: panen dikonsumsi sendiri
Dari sistem pertanian terpadu (sistem agroforestry dengan tipe agrosilvofishery dan agrosilvopastural) yang dikembangkan selama sekitar satu tahun ini dan memanfaatkan produk tanaman yang telah tersedia sebelumnya dapat menghasilkan uang senilai Rp.16.147.000,-. Nilai ini sudah termasuk penghitungan nilai jual hasil panen yang dikonsumsi sendiri oleh pemilik lahan dan pengelola, seperti pisang, jambu air, mangga, jambu bol dan belimbing.
Sistem budidaya tanaman sayuran seluruhnya menggunakan pupuk organik, baik pupuk kompos maupun pupuk cair organik serta pestisida nabati yang dibuat sendiri oleh KOPPLING Pondok Miri di Rumah Kompos yang ada di bagian lahan sisi Timur-Utara. Demikian halnya dengan pakan ikan dan ternak unggas dibuat sendiri oleh pengelola di Rumah Kompos tersebut.

KESIMPULAN
1.  Lahan pekarangan dapat dioptimalkan pemanfaatannya untuk memproduksi pangan dan papan di satu sisi, sekaligus memelihara dan memperbaiki kondisi ekologis serta meningkatkan dan mempertahankaan biodiversitas di sisi lain, melalui penerapan sistem pertanian terpadu dalam bentuk agroforestry, seperti tipe agrosilvofishery (kombinasi pohon hutan, tanaman pertanian dan kolam ikan) dan tipe agrosilvopastural (kombnasi pohon huan, tanaman pertanian dan ternak kambing).
2. Untuk memberlanjutkan dan mengoptimalkan pemanfaatan lahan pekarangan berbasis komunitas (mengelola lebih dari satu lokasi/pemilik lahan pekarangan), maka keberadaan kelembagaan masyarakat (terutamaa pemuda, dan atau ibu rumah taangga) dalam bentuk kelompok swadaya masyarakat (KSM) seperti KOPPLING sangat diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul-Rauf. 2001. Kajian Sosial Ekonomi Sistem Agroforestry di Kawasan Penyangga Ekosistem Leuser; Studi Kasus di Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Unit Managemen Leuser (UML), Medan.
Abdul-Rauf. 2004. Kajian Sistem dan Optimalisasi Penggunaan Lahan Agroforestry di Kawasan Penyangga Taman Nasional Gunung Leuser. Disertasi SPS IPB Bogor.
Abdul-Rauf. 2011. Sistem Agroforestry; Upaya Pemberdayaan Lahan Secara Berkelanjutan. USU Press, Medan.
Abdul-Rauf, K.S. Lubis, Jamilah. 2011. Dasar-Dasar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. USU Press, Medan.
Hilmi, E. 2003. Model pendugaan kandungan karbon pada pohon kelompok jenis Rhizopora Sp dan Brugueira Spp. dalam tegakan hutan mangrove. Studi Kasus di Kabupaten Indragiri Hilir Riau.Disertasi PPS IPB Bogor.
Satjapradja, O. 1981. Sistem agroforestry di Indonesia: pengertian dan implementasinya. Prosiding Seminar Pertanian terpadu dan Pengendalian Perladangan. Jakarta, 19-21 Nopember 1981. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. hal.: 68-76.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar