Minggu, 20 April 2014

Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Kering Marginal


OPTIMALISASI PEMANFAATAN LAHAN KERING DAN MARGINAL GUNA MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI 
DI SUMATERA UTARA

Oleh: Abdul Rauf
Staf Pengajar Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian USU
Jl. Prof. A. Sofyan No. 3 Kampus USU Medan-20155, Telp.061-8223604

PENDAHULUAN
Pemanfaatan lahan kering untuk usaha budidaya pertanian selalu dihadapkan pada berbagai faktor pembatas diantaranya: (1) keterbatasan air, (2) kadar bahan organik rendah, (3) kadar hara yang juga relatif rendah, (3) kemasaman tanah yang tinggi (pH rendah), dan (4) peka terhadap erosi. Faktor pembatas yang semakin besar memungkinkan tanah menjadi marginal dan faktor pembatas mencapai maksimum menyebabkan tanah menjadi kritis.
Keterbatasan air selalu terjadi terutama pada musim kemarau yang menyebabkan tanaman menjadi stress air bahkan sering menimbulkan kematian (kekeringan) tanaman. Sementara pada musim penghujan tanah tererosi menghanyutkan tidak hanya partikel tanah, namun juga unsur hara dan bahan organik tanah. Dengan demikian, tanah pada lahan kering selalu kahat (defisiensi) unsur hara dan bahan organik. Kekahatan unsur hara dan bahan organik ini dipercepat pula oleh proses dekomposisi yang tinggi pada tanah lahan kering akibat temperatur tanah yang juga lebih tinggi, terutama pada siang hari.
Bahan organik dan unsur hara esensial (termasuk basa-basa tukar seperti K, Ca, dan Mg) yang rendah memunculkan ketidak seimbangan unsur-unsur di dalam tanah. Pada keadaan demikian, biasanya tanah akan didominasi oleh besi (Fe3+) dan aluminium (Al3+) dapat ditukar yang menyebabkan tanah menjadi lebih masam (pH rendah).
Keadaan di atas menyebabkan kebanyakan usaha pertanian di lahan kering selama ini bersifat sporadis (sangat intensif) pada kurun waktu tertentu (setelah pembukaan lahan) dan menjadi terhenti sama sekali pada saat yang lain akibat penurunan tingkat kesuburan dan produktivitas tanah atau tanah menjadi kritis.
Menghadapi era dimana sumberdaya lahan semakin terbatas sementara penduduk terus meningkat jumlahnya, maka diperlukan upaya optimalisasi pemanfaatan lahan kering, agar dapat berproduksi dalam jumlah yang cukup, sekurang-kurangnya untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan hidup keluarga petani itu sendiri di satu sisi, namun lahan tetap lestari (tidak terdegradasi), di sisi lain, sehingga usaha pertanian di lahan kering tersebut terus berlangsung secara berkelanjutan (sutainable).
Jumlah lahan kering di Indonesia sangat banyak mencapai 143.945.000 hektar dan di Sumatera Utara saja mencapai 5.843.000 hektar. Jenisnya juga sangat bervariasi, mulai dari lahan pertanian pangan, palawija, dan hortikultura, lahan perkebunan, lahan pada lereng hingga puncak bukit dan pegunungan. Lahan sela tanaman perkebunan dan lahan sela pertanian tanaman hortikultura (terutama tanaman buah-buahan) sangat potensial dimanfaatkan untuk usaha pertanian lainnya dengan tanpa mengganggu pertumbuhan dan produktivitas tanaman utama. Demikian halnya dengan lahan marginal (lahan kritis) yang terjadi baik oleh kondisi (faktor) biofisiknya (kemiringan lereng dan jenis dan ketebalan tanah) maupun oleh kesalahan pengelolaan perlu diberdayakan dan atau ditingkatkan produktifitasnya untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Berbagai agroteknologi optimalisasi lahan kering yang dapat meningkatkan produksi mencapai kebutuhan hidup layak bagi petani di satu sisi dan lahan tetap lestari (tidak terdegradasi) di sisi lain, kususnya di Sumatera Utara, telah banyak dikaji dan dikembangkan oleh para peneliti dan praktisi. Beberapa diantaranya ditampilkan pada uraian berikut ini.

REKLAMASI LAHAN MARGINAL MENGGUNAKAN TIPE AGROAQUAFORESTRY

Penelitian yang dilaksanakan penulis pada Mei-Agustus 2005 di Dusun Pamah Semilir Desa Telagah Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat yang merupakan kawasan penyangga inti TNGL dengan ketinggian tempat 1011 meter di atas permukaan laut ini memanfaatkan lahan marginal berupa rawa pedalaman di kaki pegunungan menjadi lahan produktif dengan pengelolaan sistem agroforestry dengan tipe agroaquaforestry.
Tipe agroaquaforestry merupakan manajemen lahan yang mengkombinasikan  pemeliharaan ikan (kolam) dengan tanaman pohon (hutan) dan tanaman pertanian. Tipe agroaquaforestry yang menjadi objek kajian ini oleh penulis diberi nama tipe Agroforestry model Rasta Sitepu. Tipe agroaquaforestry model Rasta Sitepu ini menempati lahan seluas 2,47 hektar persis berada di kaki Gunung Semilir (bagian dari gugusan Gunung Leuser). Komponen penyusun beserta luas masing-masing tapak lainnya serta volume produksi serta nilai jual produk masing-masing disajikan pada Tabel 1.
Dari Tebel 1 dapat diketahui bahwa tipe agroaquaforestry yang dikaji memiliki 10  komponen penyusun, 7 diantaranya merupakan komoditi pertanian (termasuk kolam ikan) sementara 3 komponen penyusun lainnya berupa tegakan (vegetasi) hutan dan semak. Dari komoditi pertanian diperoleh hasil kotor sebanyak Rp.34.299.500,00 per tahun. Berdasarkan hasil wawancara diketahui pula bahwa modal yang diperlukan sebesar Rp.11.500.000,00, per tahun. Dengan demikian dapat diketahui bahwa penghasilan bersih petani pemilik lahan sebesar Rp.22.799.500,00 per tahun atau Rp.1.899.958,33 per bulan.

Tabel 1. Komposisi dan produksi dari tipe Agroaquaforestry Model Rasta Sitepu di kawasan penyangga TNGL, Dusun Pamah Semilir Desa Telagah Kec. Sei Bingei Kab.Langkat.


Jenis Komoditi

Kedudukan dalam Lahan

Luas Lahan (Ha.)

Populasi
Produksi
Volume Panen/thn
Nilai Uang (Rp/thn)
1.      Kolam
2.      Kopi
3.      Pisang
4.      Kulit Manis
5.      Aren
6.      Ubi Kayu
7.      Jahe
8.      Hutan Lindung
9.      Hutan Rakyat
10.  Semak
Bagian tengah
Sisi Selatan
Diantara kopi
Sisi Timur s/d Utara
Diantara Kopi/K.Manis
Diantara K.Manis
Sisi Barat
Setelah Jahe/Sisi Barat
Sisi Utara
Sisi Selatan
0,5
0,3
-
1,35
-
-
0,32
-
-
-
3000 ekor
460 btg.
53 rpn.
1500 btg.
18 btg.
70 btg.
21.300 rpn
-
-
-
272 kg
513,5 kg
636 sisir
1,8 ton
1,2 ton
140 kg
5,3 ton
-
-
-
4.080.000,-
4.621.500,-
318.000,-
7.200.000,-
4.200.000,-
35.000,-
13.845.000,-
-
-
-
Jumlah
2,47
-
-
34.299.500,-
Sumber: Abdul-Rauf dan Guci (2008b)

Penghasilan bersih sebesar Rp.22.799.500,00/thn (Rp.1.899.958,33/bln) tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi keluarga petani pemilik lahan agroaquaforestry tersebut. Kebutuhan hidup layak (KHL) di pedesaan menurut Sajogyo (1977) setara dengan 800 kg beras per kapita per tahun. Dengan 5 orang anggota keluarga Rasta Sitepu (ayah, ibu dan 3 orang anak) maka diperlukan penghasilan setara dengan 4.000 kg beras per tahun. Harga beras pada saat penelitian dilakukan (2005) rata-rata sebesar Rp.5.500,00 per kilogram, maka standar kebutuhan hidup layak saat itu sebesar Rp.22.000.000,00 per tahun. Ini berarti reklamasi lahan rawa yang dilakukan di kawasan penyangga TNGL menjadi lahan usaha dengan tipe agroaquaforestry model Rasta Sitepu ini dapat memberikan hasil yang melampaui kebutuhan hidup layak (kebutuhan untuk konsumsi, mendidik anak, perobatan, pemenuhan fasilitas kehidupan, kegiatan sosial, dan menabung) bagi keluarga Rasta Sitepu dengan 5 anggota keluarga.
Selain itu, tipe agroaquaforestry efektif dalam mengendalikan erosi tanah karena erosi yang terjadi pada tipe agroaquaforestry tersebut hanya sebesar 12,48 t/ha/thn yang lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan (Etol) di tempat itu sebesar 29,44 t/ha/thn. Dengan demikian dari aspek ekologi, lahan tetap lestari, dan dari aspek ekonomis lahan memberikan produksi yang dapat mensejahterakan petani.

PEMANFAATAN LAHAN SELA TANAMAN PERKEBUNAN
A.      Intercropping Tanaman Bengkuang
Hasil pengamatan penulis di Kecamatan Binjai Barat Kota Binjai pada perkebunan kelapa sawit rakyat berumur 1 tahun yang di lahan selanya ditanami bengkuang diperoleh profil perkebunan tersebut sebagaimana disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Profil penanaman bengkuang pada lahan sela tanaman kelapa sawit rakyat umur 1 tahun (TBM) di Kecamatan Binjai Barat Kota Binjai.
No.
Uraian (Karakteristik)
Volume (Jumlah)
1
Luas lahan usaha
1,7 hektar
2
Populasi tanaman kelapa sawit
210 tanaman
3
Umur tanaman kelapa sawit
1 tahun (TBM)
4
Sebagian lahan sela (7 rante) ditanami tanaman bengkuang dengan modal usaha Rp.700.000,- per rante

Rp.4.900.000,-
5
Bengkuang berproduksi setelah 3 bulan, rata-rata 1,3 ton per rante

9,1 ton
6
Harga bengkuang
Rp.1.200,-/kg
7
Penghasilan kotor petani dari bengkungan per tiga bulan
Rp.10.920.000,-
8
Penghasilan bersih petani dari bengkuang per tiga bulan
Rp.  6.020.000,-
9
Penghasilan bersih petani dari bengkuang per bulan
Rp. 2.000.000,- (pembulatan ke bawah)
Sumber: Abdul-Rauf (2008a).

B.       Multiplecropping
Sistem pertanaman campuran antar tanaman tahunan (perkebunan, buah-buahan, dan lain-lain) yang selalu disebut sebagai sistem multiplecropping merupakan pilihan yang baik dalam memaksimal penggunaan lahan perkebuan. Pemandang seperti ini banyak terjadi pada lahan perkebunan rakyat.
Hasil kajian penulis pada perkebunan campuran di Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat dengan dua pola penggunaan lahan dan profil masing-masing pola tersebut disajikan pada Tabel 3 dan 4.
 Dari Tabel 3 dan 4 dapat diketahui bahwa terdapat dua pola umum penggunaan lahan dengan sistem mulitiplecropping yaitu pola perkebunan campuran yang mengkombinasikan berbagai jenis tanaman tahunan dengan jarak dan tata letak tanaman yang tidak beraturan sehingga menyerupai hutan tanaman dan kombinasi beberapa tanaman perkebunan dengan jarak dan tata letak tanaman yang lebih beraturan.

Tabel 3. Profil multiplecropping dengan pola hutan tanaman di Desa Kuta Mburu Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat
No.
Uraian (Karakteristik)
Volume (Jumlah)
Hasil (Rp/Thn)
Pengeluaran
(Rp/Thn)
1
Luas lahan usaha
5 hektar
-
-
2
Populasi tanaman karet
1.800 tanaman
36.000.000,-
-
3
Populasi tanaman petai
15 pohon
500.000,-
-
4
Populasi tanaman kemiri
10 pohon
1.000.000,-
-
Jumlah Penghasilan Kotor
-
37.500.000,-
-
1
Pupuk Urea
250 kg/thn
-
450.000,-
2
Pupuk SP-36
200 kg/thn
-
800.000,-
3
Tenaga kerja
365 HOK/thn
-
7.300.000,-
Jumlah Pengeluaran
-
-
8.550.000,-
Penghasilan Bersih

Rp. 28.950.000,-/Thn
(Rp. 2.412.500,-/Bln)
Sumber: Abdul-Rauf (2008a).

Tabel 4. Profil multiplecropping dengan pola perkebunan campuran di Desa Kuta Mburu Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat
No.
Uraian (Karakteristik)
Volume (Jumlah)
Hasil (Rp/Thn)
Pengeluaran
(Rp/Thn)
1
Luas lahan usaha
5 hektar
-
-
2
Populasi tanaman karet
500 tanaman
18.000.000,-
-
3
Populasi kelapa sawit
140 tanaman
8.400.000,-

4
Populasi kelapa
50 pohon
4.500.000,-

5
Populasi kakao
100 pohon
2.340.000,-

6
Populasi tanaman petai
8 pohon
300.000,-
-
7
Populasi tanaman durian
10 pohon
500.000,-
-
Jumlah Penghasilan Kotor
-
34.040.000,-
-
1
Pupuk Urea
100 kg/thn
-
180.000,-
2
Pupuk SP-36
100 kg/thn
-
400.000,-
3
Pupuk KCl
100 kg/thn

400.000,-
4
Tenaga kerja
365 HOK/thn
-
7.300.000,-
Jumlah Pengeluaran
-
-
8.280.000,-
Penghasilan Bersih

Rp. 25.760.000,-/Thn
(Rp. 2.146.667,-/Bln)
Sumber: Abdul-Rauf (2008a).

Dari Tabel 3 dan 4 dapat diketahui bahwa dengan luas lahan yang sama, meskipun pola penggunaan lahan yang berbeda, memberikan penghasilan bersih lebih kurang sama. Keuntungan lain yang diperoleh dari diterapkannya sistem pertanaman multikultur adalah konservasi sumberdaya lahan dan terpeliharanya keanekaragaman hayati. Tutupan vegetasi yang rapat, baik oleh tajuk tanaman pohon, maupun tajuk tanaman bawah dan serasah sisa tanaman, dapat mencegah erosi dan sekaligus meningkatkan/memelihara tingkat kesuburan tanah.

C.      Lahan Perkebuan Sebagai Sumber Pakan Ternak
Pengamatan penulis di komplek karyawan PTPN 3 Kebun Sei Putih Galang Deli Serdang diperoleh bahwa warga (karyawan) di perkebunan tersebut melakukan pemeliharaan ternak kambing, domba, dan sapi secara creman gabungan (sistem kandang/ternak tidak digembalakan) pada suatu areal di sekitar pemukiman mereka dengan sumber pakan berasal dari lahan sela perkebunan karet.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dari 20 ekor kambing atau domba yang dimiliki peternak dapat memberikan keuntungan rata-rata sebesar Rp.1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah) per bulan, sedangkan sapi dapat menghasilkan rata-rata keuntungan Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) per ekor per bulan. Keuntungan tersebut belum termasuk dari penjualan pupuk kandang yang dihasilkannya (Tabel 5 dan 6).

Tabel 5.   Profil  pemeliharaan  ternak domba dan kambing di sekitar perkebunan karet PTPN-3 Kebun Sei Putih Galang Deli Serdang dengan sumber pakan dari lahan sela perkebunan karet.

No.
Uraian (Karakteristik)
Volume (Jumlah)
1
Jumlah peternak kambing dan domba pada areal/ kelompok yang diamati
6 peternak (kandang)
2
Rata-rata jumlah pemilikan ternak per kandang
20 ekor
3
Rata-rata pakan per hari per kandang
3 bal (45 kg) rumput segar
4
Rata-rata keuntungan dari penjualan ternak per bulan per kandang
Rp. 1.500.000,-
5
Rata-rata produksi pupuk kandang per kandang per bulan
10 angkong (kereta sorong)
6
Harga pupuk kandang
Rp.3.000-Rp.7.000 per angkong (tgt.kadar air)
7
Rata-rata hasil penjualan pupuk kandang per kandang per bulan
Rp. 50.000,-
8
Total penghasilan peternak domba/kambing per bulan
Rp. 1.550.000,-
Sumber: Abdul-Rauf (2008a).

Tabel 6.  Profil  pemeliharaan  ternak sapi di sekitar perkebunan karet PTPN-3 Kebun Sei Putih Galang Deli Serdang dengan sumber pakan dari lahan sela perkebunan karet.
No.
Uraian (Karakteristik)
Volume (Jumlah)
1
Jumlah peternak sapi pada areal/ kelompok yang diamati
7 peternak (kandang)
2
Rata-rata jumlah pemilikan ternak per kandang
4 ekor
3
Rata-rata pakan per hari per kandang
3 bal (45 kg) rumput segar
4
Rata-rata keuntungan dari penjualan ternak per bulan per ekor (pertambahan berat badan 10 kg per bulan).
Rp.500.000,-
5
Rata-rata produksi pupuk kandang per kandang per bulan
8 angkong (kereta sorong)
6
Harga pupuk kandang
Rp.3.000,- per angkong
7
Rata-rata hasil penjualan pupuk kandang per kandang per bulan
Rp. 24.000,-
8
Total keuntungan peternak per kandang (rotasi 4 ekor sapi) per bulan
Rp. 2.024.000,-
Sumber: Abdul-Rauf (2008a).

Dari Tabel 5 dan 6 dapat diketahui bahwa dengan pemeliharaan 20 ekor kambing atau domba dapat dihasilkan sekitar 10 angkong (kereta sorong) pupuk kandang per bulan, sedangkan pada pemeliharaan sapi dapat dihasilkan 8 angkong pupuk kandang per bulan untuk pemeliharaan sapi sebanyak 4 ekor. Dari pupuk kandang, peternak mendapatkan tambahan penghasilan antara Rp. 25.000 sampai Rp.50.000 per bulan untuk pemeliharaan sapi sebanyak 4 ekor atau kambing/domba sebanyak 20 ekor.
Penghasilan bersih yang diperoleh petani/peternak dalam memanfaatkan lahan perkebunan secara optimal, sebagaimana disajikan pada Tabel 1-5 (berkisar antara Rp.1.550.000,- - Rp.2.412.500,- per bulan) memberikan gambaran bahwa hasil yang diperoleh tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidup layak bagi keluarga petani/peternak. Kebutuhan hidup layak bagi penduduk Indonesia yang tinggal di Pedesaan menurut Sajogyo (1977) setara dengan 800 kg beras per kapita per tahun. Dengan demikian, untuk satu keluarga petani/peternak yang terdiri dari 4 jiwa misalnya, diperlukan penghasilan setara dengan 4 x 800 = 3.200 kg beras per tahun. Dengan rerata harga beras (pada saat penelitian dilakukan) sebesar Rp.5.500,- per kilogram maka diperlukan penghasilan sebesar Rp.17.600.000,- per tahun bagi keluarga tersebut untuk mencapai kebutuhan hidup layak (yaitu kehidupan yang telah dapat memenuhi kebutuhan konsumtif, dapat menyekolahkan anak, dapat berobat bila sakit, dapat melakukan kegiatan sosial, dapat memenuhi sarana-prasarana wajib dalam kehidupan, dan dapat menabung).
            Ini berarti dengan pengahasilan  Rp.1.550.000,- - Rp.2.412.500,- per bulan dari kebijakan optimalisasi pemanfaatan lahan perkebunan ini diperoleh penghasilan sebesar Rp.18.600.000,- - Rp. 28.950.000,- per tahun, yang berarti telah melampaui kebutuhan hidup layak bagi keluarga petani/peternak dengan jumlah anggota keluarga minimal 4 orang. 

BETERNAK LEBAH PADA LAHAN SELA HORTIKULTURA BUAH-BUAHAN
Beternak lebah di lahan sela tanaman jeruk manis, terung belanda dan pepohonan kaliandra di Desa Dokan Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo telah dilakukan oleh Antonius Sembiring yang hingga saat ini telah mengkoleksi sedikitnya 94 stup (koloni) di lahan budidayanya.

Lebah yang dipelihara merupakan lebah Indica yang merupakan jenis lebah lokal yang dapat diternakkan menggunakan stup. Dari ternak lebah yang dilakukan oleh Bapak Antonius Sembiring tersebut dapat dipanen madu sebanyak satu botol besar (dua botol kecil) per stup per 15 hari pada masa normal, atau sebanyak satu botol kecil madu pada masa track (musim hujan) per stup per 15 hari. Dengan harga jual madu sebesar Rp.75.000,- per botol kecil maka bapak Antonius Sembiring mendapatkan tambahan penghasilan dari beternak lebah ini sebanyak Rp.28.200.000,- per bulan pada masa normal, atau sekitar Rp.14.100.000,- per bulan pada masa track (pada musim hujan). Tambahan hasil ini diperoleh pada lahan budidaya jeruk manis dan terung belanda seluas 2.350 m2 yang di lahan selanya dilakukan peternakan lebah dengan jarak stup (koloni lebah) 5x5 meter.

PEMANFAATAN LAHAN BEKAS TAMBANG GALIAN C UNTUK BUDIDAYA BIBIT IKAN DENGAN SISTEM KERAMBA

Pemanfaatan lahan tergenang (waduk) bekas tambang galian C untuk pembesaran bibit ikan nila (Oreochromis niloticus), lele dumbo (Clarias gariepinus) dan patin (Pangasius hipothalmus) dengan sistem keramba telah dilakukan oleh Bapak Syamaun Usman di Keluarahan Ladang Bambu Kecamatan Tuntungan Kota Medan.
Pemeliharaan bibit ikan nila, lele dumbo dan patin dengan ukuran awal rata-rata 2,23 g per ekor yang dipelihara selama 30 hari (1 bulan) mencapai bobot rata-rata 10,4 g/ekor. Setiap unit keramba yang dibuat berukuran 3 x 3 meter dengan kedalaman jaring 2 meter menghabiskan biaya sebesar Rp.1.890.000,- dapat dipelihara sebanyak 1000 ekor bibit ikan per keramba. Biaya pembelian bibit dan biaya pemeliharaan selama 30 hari rata-rata sebesar Rp. 200,- per ekor. Harga jual bibit ikan setelah berukuran lebih dari 10 g/ekor tersebut (umur 1 bulan) sebesar Rp.500,-, sehingga diperoleh keuntungan rata-rata sebesar Rp.100,- per ekor atau rata-rata Rp.100.000,- per keramba. Dengan kermaba yang dimiliki oleh Bapak Syamaun Usman sebanyak 112 unit, maka penghasilan bersih yang diterimanya sebanyak Rp.11.200.000,- per bulan.

Daftar Pustaka

Abdul-Rauf. 2007. Teknologi Optimalisasi Lahan Kering. Makalah disampaikan pada Pertemuan Koordinasi Peningkatan Kemampuan Optimalisasi Lahan Program Peningkatan Ketahahan Pangan Tahun 2007. Dinas Pertanian Propinsi Sumatera Utara, Medan, 23 Nopember 2007

Abdul-Rauf dan H. Guci. 2008. Reklamasi Lahan Rawa Pegunungan Menggunakan Tipe Agroaquaforestry Berbasis Penggunaan Lahan Berkelanjutan Di Kawasan Penyangga Taman Nasional Gunung Leuser. Makalah Pada Seminar Nasional dan Pertemuanan Tahunan Komda HITI, Palembang 17 Desember 2008.

Abdul-Rauf. 2008a. Optimasi Pemanfaatan Lahan Perkebunan Dalam Meningkatkan Pendapatan Petani  Di Sumatera Utara. Makalah Pada Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Fakultas Pertanian PTN Wilayah Barat Indonesia. UNSYIAH Banda Aceh, 17-18 Juni 2008

Abdul-Rauf dan S. Usman. 2009. Pemanfaatan Lahan Bekas Tambang Galian C Untuk Budidaya Bibit Ikan Dengan Sistem Keramba. Makalah Pada Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Fakultas Pertanian PTN Wilayah Barat Indonesia di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA) Serang Banten, 13-16 April 2009.

1 komentar:

  1. sangat bermanfaat sekali pak
    terima kasih ilmunya prof.. semoga menjadi amal jariyah amin..

    BalasHapus