OPTIMALISASI PEMANFAATAN LAHAN KERING DAN MARGINAL GUNA MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI
DI SUMATERA UTARA
Oleh: Abdul Rauf
Staf
Pengajar Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian USU
Jl. Prof.
A. Sofyan No. 3 Kampus USU Medan-20155, Telp.061-8223604
PENDAHULUAN
Pemanfaatan lahan kering untuk usaha budidaya pertanian selalu dihadapkan
pada berbagai faktor pembatas diantaranya: (1) keterbatasan air, (2) kadar
bahan organik rendah, (3) kadar hara yang juga relatif rendah, (3) kemasaman
tanah yang tinggi (pH rendah), dan (4) peka terhadap erosi. Faktor
pembatas yang semakin besar memungkinkan tanah menjadi marginal dan faktor
pembatas mencapai maksimum menyebabkan tanah menjadi kritis.
Keterbatasan air selalu terjadi terutama pada musim kemarau yang
menyebabkan tanaman menjadi stress air bahkan sering menimbulkan kematian
(kekeringan) tanaman. Sementara pada musim penghujan tanah tererosi
menghanyutkan tidak hanya partikel tanah, namun juga unsur hara dan bahan
organik tanah. Dengan demikian, tanah pada lahan kering selalu kahat
(defisiensi) unsur hara dan bahan organik. Kekahatan unsur hara dan bahan
organik ini dipercepat pula oleh proses dekomposisi yang tinggi pada tanah
lahan kering akibat temperatur tanah yang juga lebih tinggi, terutama pada
siang hari.
Bahan organik dan unsur hara esensial (termasuk basa-basa tukar seperti K,
Ca, dan Mg) yang rendah memunculkan ketidak seimbangan unsur-unsur di dalam
tanah. Pada keadaan demikian, biasanya tanah akan didominasi oleh besi (Fe3+)
dan aluminium (Al3+) dapat ditukar yang menyebabkan tanah menjadi
lebih masam (pH rendah).
Keadaan di atas menyebabkan kebanyakan usaha pertanian di lahan kering
selama ini bersifat sporadis (sangat intensif) pada kurun waktu tertentu
(setelah pembukaan lahan) dan menjadi terhenti sama sekali pada saat yang lain
akibat penurunan tingkat kesuburan dan produktivitas tanah atau tanah
menjadi kritis.
Menghadapi era dimana sumberdaya lahan semakin terbatas sementara penduduk
terus meningkat jumlahnya, maka diperlukan upaya optimalisasi pemanfaatan lahan
kering, agar dapat berproduksi dalam jumlah yang cukup, sekurang-kurangnya
untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan hidup keluarga petani itu sendiri di
satu sisi, namun lahan tetap lestari (tidak terdegradasi), di sisi lain,
sehingga usaha pertanian di lahan kering tersebut terus berlangsung secara
berkelanjutan (sutainable).
Jumlah lahan kering di Indonesia sangat banyak mencapai 143.945.000 hektar
dan di Sumatera Utara saja mencapai 5.843.000 hektar. Jenisnya juga sangat
bervariasi, mulai dari lahan pertanian pangan, palawija, dan hortikultura,
lahan perkebunan, lahan pada lereng hingga puncak bukit dan pegunungan. Lahan
sela tanaman perkebunan dan lahan sela pertanian tanaman hortikultura (terutama
tanaman buah-buahan) sangat potensial dimanfaatkan untuk usaha pertanian
lainnya dengan tanpa mengganggu pertumbuhan dan produktivitas tanaman utama.
Demikian halnya dengan lahan marginal (lahan kritis) yang terjadi baik oleh
kondisi (faktor) biofisiknya (kemiringan lereng dan jenis dan ketebalan tanah) maupun
oleh kesalahan pengelolaan perlu diberdayakan dan atau ditingkatkan
produktifitasnya untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Berbagai agroteknologi optimalisasi lahan kering yang dapat
meningkatkan produksi mencapai kebutuhan hidup layak bagi petani di satu sisi
dan lahan tetap lestari (tidak terdegradasi) di sisi lain, kususnya di Sumatera
Utara, telah banyak dikaji dan dikembangkan oleh para peneliti dan praktisi.
Beberapa diantaranya ditampilkan pada uraian berikut ini.
REKLAMASI LAHAN MARGINAL MENGGUNAKAN TIPE
AGROAQUAFORESTRY
Penelitian yang dilaksanakan
penulis pada Mei-Agustus 2005 di Dusun Pamah Semilir Desa
Telagah Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat yang merupakan kawasan penyangga
inti TNGL dengan ketinggian tempat 1011 meter di atas permukaan laut ini
memanfaatkan lahan marginal berupa rawa pedalaman di kaki pegunungan menjadi
lahan produktif dengan pengelolaan sistem agroforestry dengan tipe
agroaquaforestry.
Tipe agroaquaforestry merupakan manajemen lahan yang mengkombinasikan pemeliharaan
ikan (kolam) dengan tanaman pohon (hutan) dan tanaman pertanian. Tipe
agroaquaforestry yang menjadi objek kajian ini oleh penulis
diberi nama tipe Agroforestry
model Rasta Sitepu. Tipe agroaquaforestry model Rasta Sitepu ini menempati lahan seluas 2,47 hektar persis berada di kaki Gunung Semilir
(bagian dari gugusan Gunung Leuser). Komponen penyusun beserta luas
masing-masing tapak lainnya serta volume produksi serta nilai jual produk
masing-masing disajikan pada Tabel 1.
Dari Tebel 1 dapat diketahui bahwa tipe
agroaquaforestry yang dikaji memiliki 10
komponen penyusun, 7 diantaranya merupakan komoditi pertanian (termasuk
kolam ikan) sementara 3 komponen penyusun lainnya berupa tegakan (vegetasi)
hutan dan semak. Dari komoditi pertanian diperoleh hasil kotor sebanyak
Rp.34.299.500,00 per tahun. Berdasarkan hasil wawancara diketahui pula bahwa
modal yang diperlukan sebesar Rp.11.500.000,00, per tahun. Dengan demikian
dapat diketahui bahwa penghasilan bersih petani pemilik lahan sebesar
Rp.22.799.500,00 per tahun atau Rp.1.899.958,33 per bulan.
Tabel 1. Komposisi dan produksi dari tipe
Agroaquaforestry Model Rasta Sitepu di kawasan penyangga TNGL, Dusun Pamah
Semilir Desa Telagah Kec. Sei Bingei Kab.Langkat.
Jenis Komoditi
|
Kedudukan dalam Lahan
|
Luas Lahan (Ha.)
|
Populasi
|
Produksi
|
|
Volume Panen/thn
|
Nilai Uang (Rp/thn)
|
||||
1.
Kolam
2.
Kopi
3.
Pisang
4.
Kulit Manis
5.
Aren
6.
Ubi Kayu
7.
Jahe
8.
Hutan Lindung
9.
Hutan Rakyat
10. Semak
|
Bagian tengah
Sisi Selatan
Diantara kopi
Sisi Timur s/d Utara
Diantara Kopi/K.Manis
Diantara K.Manis
Sisi Barat
Setelah Jahe/Sisi Barat
Sisi Utara
Sisi Selatan
|
0,5
0,3
-
1,35
-
-
0,32
-
-
-
|
3000 ekor
460 btg.
53 rpn.
1500 btg.
18 btg.
70 btg.
21.300 rpn
-
-
-
|
272 kg
513,5 kg
636 sisir
1,8 ton
1,2 ton
140 kg
5,3 ton
-
-
-
|
4.080.000,-
4.621.500,-
318.000,-
7.200.000,-
4.200.000,-
35.000,-
13.845.000,-
-
-
-
|
Jumlah
|
2,47
|
-
|
-
|
34.299.500,-
|
Sumber:
Abdul-Rauf dan Guci (2008b)
Penghasilan bersih sebesar Rp.22.799.500,00/thn
(Rp.1.899.958,33/bln) tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi
keluarga petani pemilik lahan agroaquaforestry tersebut. Kebutuhan hidup layak
(KHL) di pedesaan menurut Sajogyo (1977) setara dengan 800 kg beras per kapita
per tahun. Dengan 5 orang anggota keluarga Rasta Sitepu (ayah, ibu dan 3 orang
anak) maka diperlukan penghasilan setara dengan 4.000 kg beras per tahun. Harga
beras pada saat penelitian dilakukan (2005) rata-rata sebesar Rp.5.500,00 per
kilogram, maka standar kebutuhan hidup layak saat itu sebesar Rp.22.000.000,00
per tahun. Ini berarti reklamasi lahan rawa yang dilakukan di kawasan penyangga
TNGL menjadi lahan usaha dengan tipe agroaquaforestry model Rasta Sitepu ini
dapat memberikan hasil yang melampaui kebutuhan hidup layak (kebutuhan untuk
konsumsi, mendidik anak, perobatan, pemenuhan fasilitas kehidupan, kegiatan
sosial, dan menabung) bagi keluarga Rasta Sitepu dengan 5 anggota keluarga.
Selain itu, tipe agroaquaforestry efektif dalam mengendalikan
erosi tanah karena erosi yang terjadi pada tipe agroaquaforestry tersebut hanya
sebesar 12,48 t/ha/thn yang lebih
kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan (Etol) di tempat
itu sebesar 29,44 t/ha/thn. Dengan demikian dari aspek ekologi,
lahan tetap lestari, dan dari aspek ekonomis lahan memberikan produksi yang
dapat mensejahterakan petani.
PEMANFAATAN
LAHAN SELA TANAMAN PERKEBUNAN
A.
Intercropping Tanaman Bengkuang
Hasil pengamatan penulis di Kecamatan Binjai Barat Kota Binjai pada
perkebunan kelapa sawit rakyat berumur 1 tahun yang di lahan selanya ditanami
bengkuang diperoleh profil perkebunan tersebut sebagaimana disajikan
pada Tabel 2.
No.
|
Uraian (Karakteristik)
|
Volume (Jumlah)
|
1
|
Luas lahan usaha
|
1,7 hektar
|
2
|
Populasi tanaman kelapa sawit
|
210 tanaman
|
3
|
Umur tanaman kelapa sawit
|
1 tahun (TBM)
|
4
|
Sebagian lahan sela (7 rante) ditanami tanaman bengkuang dengan modal
usaha Rp.700.000,- per rante
|
Rp.4.900.000,-
|
5
|
Bengkuang berproduksi setelah 3 bulan, rata-rata 1,3 ton per rante
|
9,1 ton
|
6
|
Harga bengkuang
|
Rp.1.200,-/kg
|
7
|
Penghasilan kotor petani dari bengkungan per tiga bulan
|
Rp.10.920.000,-
|
8
|
Penghasilan bersih petani dari bengkuang per tiga bulan
|
Rp. 6.020.000,-
|
9
|
Penghasilan bersih petani dari bengkuang per bulan
|
Rp. 2.000.000,- (pembulatan ke bawah)
|
Sumber: Abdul-Rauf (2008a).
B. Multiplecropping
Sistem pertanaman campuran
antar tanaman tahunan (perkebunan, buah-buahan, dan lain-lain) yang selalu
disebut sebagai sistem multiplecropping merupakan
pilihan yang baik dalam memaksimal penggunaan lahan perkebuan. Pemandang
seperti ini banyak terjadi pada lahan perkebunan rakyat.
Hasil kajian penulis pada perkebunan campuran di Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat dengan dua
pola penggunaan lahan dan profil masing-masing pola
tersebut disajikan pada Tabel 3 dan 4.
Dari Tabel 3 dan 4 dapat diketahui
bahwa terdapat dua pola umum penggunaan lahan dengan sistem mulitiplecropping
yaitu pola perkebunan campuran yang mengkombinasikan berbagai jenis tanaman
tahunan dengan jarak dan tata letak tanaman yang tidak beraturan sehingga
menyerupai hutan tanaman dan kombinasi beberapa tanaman perkebunan
dengan jarak dan tata letak tanaman yang lebih beraturan.
Tabel 3. Profil multiplecropping dengan pola hutan tanaman di Desa Kuta Mburu
Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat
No.
|
Uraian (Karakteristik)
|
Volume (Jumlah)
|
Hasil (Rp/Thn)
|
Pengeluaran
(Rp/Thn)
|
1
|
Luas lahan usaha
|
5 hektar
|
-
|
-
|
2
|
Populasi tanaman karet
|
1.800 tanaman
|
36.000.000,-
|
-
|
3
|
Populasi tanaman petai
|
15 pohon
|
500.000,-
|
-
|
4
|
Populasi tanaman kemiri
|
10 pohon
|
1.000.000,-
|
-
|
Jumlah Penghasilan Kotor
|
-
|
37.500.000,-
|
-
|
|
1
|
Pupuk Urea
|
250 kg/thn
|
-
|
450.000,-
|
2
|
Pupuk SP-36
|
200 kg/thn
|
-
|
800.000,-
|
3
|
Tenaga kerja
|
365 HOK/thn
|
-
|
7.300.000,-
|
Jumlah Pengeluaran
|
-
|
-
|
8.550.000,-
|
|
Penghasilan Bersih
|
Rp. 28.950.000,-/Thn
(Rp. 2.412.500,-/Bln)
|
Sumber: Abdul-Rauf (2008a).
Tabel 4. Profil multiplecropping dengan pola perkebunan campuran di Desa Kuta
Mburu Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat
No.
|
Uraian (Karakteristik)
|
Volume (Jumlah)
|
Hasil (Rp/Thn)
|
Pengeluaran
(Rp/Thn)
|
1
|
Luas lahan usaha
|
5 hektar
|
-
|
-
|
2
|
Populasi tanaman karet
|
500 tanaman
|
18.000.000,-
|
-
|
3
|
Populasi kelapa sawit
|
140 tanaman
|
8.400.000,-
|
|
4
|
Populasi kelapa
|
50 pohon
|
4.500.000,-
|
|
5
|
Populasi kakao
|
100 pohon
|
2.340.000,-
|
|
6
|
Populasi tanaman petai
|
8 pohon
|
300.000,-
|
-
|
7
|
Populasi tanaman durian
|
10 pohon
|
500.000,-
|
-
|
Jumlah Penghasilan Kotor
|
-
|
34.040.000,-
|
-
|
|
1
|
Pupuk Urea
|
100 kg/thn
|
-
|
180.000,-
|
2
|
Pupuk SP-36
|
100 kg/thn
|
-
|
400.000,-
|
3
|
Pupuk KCl
|
100 kg/thn
|
400.000,-
|
|
4
|
Tenaga kerja
|
365 HOK/thn
|
-
|
7.300.000,-
|
Jumlah Pengeluaran
|
-
|
-
|
8.280.000,-
|
|
Penghasilan Bersih
|
Rp. 25.760.000,-/Thn
(Rp. 2.146.667,-/Bln)
|
Sumber: Abdul-Rauf (2008a).
Dari Tabel 3 dan 4 dapat diketahui bahwa dengan luas lahan yang
sama, meskipun pola penggunaan lahan yang berbeda, memberikan penghasilan
bersih lebih kurang sama. Keuntungan lain yang diperoleh dari diterapkannya
sistem pertanaman multikultur adalah konservasi sumberdaya lahan dan
terpeliharanya keanekaragaman hayati. Tutupan vegetasi yang rapat, baik oleh
tajuk tanaman pohon, maupun tajuk tanaman bawah dan serasah sisa tanaman, dapat
mencegah erosi dan sekaligus meningkatkan/memelihara tingkat kesuburan tanah.
C.
Lahan Perkebuan Sebagai Sumber Pakan Ternak
Pengamatan penulis di komplek karyawan PTPN 3 Kebun Sei Putih Galang Deli Serdang
diperoleh bahwa warga (karyawan) di perkebunan tersebut melakukan pemeliharaan
ternak kambing, domba, dan sapi secara creman gabungan (sistem kandang/ternak
tidak digembalakan) pada suatu areal di sekitar pemukiman mereka dengan sumber
pakan berasal dari lahan sela perkebunan karet.
Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa dari 20 ekor kambing atau domba yang dimiliki peternak dapat memberikan
keuntungan rata-rata sebesar Rp.1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah)
per bulan, sedangkan sapi dapat menghasilkan rata-rata keuntungan Rp.500.000,-
(lima ratus ribu rupiah) per ekor per bulan. Keuntungan tersebut belum termasuk
dari penjualan pupuk kandang yang dihasilkannya (Tabel 5 dan 6).
Tabel 5. Profil
pemeliharaan ternak domba dan
kambing di sekitar perkebunan karet PTPN-3 Kebun Sei Putih Galang Deli Serdang
dengan sumber pakan dari lahan sela perkebunan karet.
No.
|
Uraian (Karakteristik)
|
Volume (Jumlah)
|
1
|
Jumlah peternak kambing dan domba pada areal/ kelompok yang diamati
|
6 peternak (kandang)
|
2
|
Rata-rata jumlah pemilikan ternak per kandang
|
20 ekor
|
3
|
Rata-rata pakan per hari per kandang
|
3 bal (45 kg) rumput segar
|
4
|
Rata-rata keuntungan dari penjualan ternak per
bulan per kandang
|
Rp. 1.500.000,-
|
5
|
Rata-rata produksi pupuk kandang per kandang per
bulan
|
10 angkong (kereta sorong)
|
6
|
Harga pupuk kandang
|
Rp.3.000-Rp.7.000 per angkong (tgt.kadar air)
|
7
|
Rata-rata hasil penjualan pupuk kandang per
kandang per bulan
|
Rp. 50.000,-
|
8
|
Total penghasilan peternak domba/kambing per
bulan
|
Rp. 1.550.000,-
|
Sumber: Abdul-Rauf (2008a).
Tabel 6. Profil pemeliharaan
ternak sapi di sekitar perkebunan karet PTPN-3 Kebun Sei Putih Galang
Deli Serdang dengan sumber pakan dari lahan sela perkebunan karet.
No.
|
Uraian (Karakteristik)
|
Volume (Jumlah)
|
1
|
Jumlah peternak sapi pada areal/ kelompok yang diamati
|
7 peternak (kandang)
|
2
|
Rata-rata jumlah pemilikan ternak per kandang
|
4 ekor
|
3
|
Rata-rata pakan per hari per kandang
|
3 bal (45 kg) rumput segar
|
4
|
Rata-rata keuntungan dari penjualan ternak per
bulan per ekor (pertambahan berat badan 10 kg per bulan).
|
Rp.500.000,-
|
5
|
Rata-rata produksi pupuk kandang per kandang per
bulan
|
8 angkong (kereta sorong)
|
6
|
Harga pupuk kandang
|
Rp.3.000,- per angkong
|
7
|
Rata-rata hasil penjualan pupuk kandang per
kandang per bulan
|
Rp. 24.000,-
|
8
|
Total keuntungan peternak per kandang (rotasi 4
ekor sapi) per bulan
|
Rp. 2.024.000,-
|
Sumber: Abdul-Rauf (2008a).
Dari Tabel 5 dan 6 dapat diketahui bahwa dengan pemeliharaan 20 ekor
kambing atau domba dapat dihasilkan sekitar 10 angkong (kereta sorong) pupuk
kandang per bulan, sedangkan pada pemeliharaan sapi dapat dihasilkan 8 angkong
pupuk kandang per bulan untuk pemeliharaan sapi sebanyak 4 ekor. Dari pupuk
kandang, peternak mendapatkan tambahan penghasilan antara Rp. 25.000 sampai
Rp.50.000 per bulan untuk pemeliharaan sapi sebanyak 4 ekor atau kambing/domba
sebanyak 20 ekor.
Penghasilan
bersih yang diperoleh petani/peternak dalam memanfaatkan lahan perkebunan
secara optimal, sebagaimana disajikan pada Tabel 1-5 (berkisar antara
Rp.1.550.000,- - Rp.2.412.500,- per bulan) memberikan gambaran bahwa hasil yang
diperoleh tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidup layak bagi keluarga
petani/peternak. Kebutuhan hidup layak bagi penduduk Indonesia yang tinggal di Pedesaan
menurut Sajogyo (1977) setara dengan 800 kg beras per kapita per tahun. Dengan
demikian, untuk satu keluarga petani/peternak yang terdiri dari 4 jiwa
misalnya, diperlukan penghasilan setara dengan 4 x 800 = 3.200 kg beras per
tahun. Dengan rerata harga beras (pada saat penelitian dilakukan) sebesar
Rp.5.500,- per kilogram maka diperlukan penghasilan sebesar Rp.17.600.000,- per
tahun bagi keluarga tersebut untuk mencapai kebutuhan hidup layak (yaitu
kehidupan yang telah dapat memenuhi kebutuhan konsumtif, dapat menyekolahkan
anak, dapat berobat bila sakit, dapat melakukan kegiatan sosial, dapat memenuhi
sarana-prasarana wajib dalam kehidupan, dan dapat menabung).
Ini
berarti dengan pengahasilan
Rp.1.550.000,- - Rp.2.412.500,- per bulan dari kebijakan optimalisasi
pemanfaatan lahan perkebunan ini diperoleh penghasilan sebesar Rp.18.600.000,-
- Rp. 28.950.000,- per tahun, yang berarti telah melampaui kebutuhan hidup
layak bagi keluarga petani/peternak dengan jumlah anggota keluarga minimal 4
orang.
BETERNAK LEBAH PADA LAHAN SELA HORTIKULTURA BUAH-BUAHAN
Beternak lebah di lahan sela tanaman jeruk manis, terung belanda dan
pepohonan kaliandra di Desa
Dokan Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo telah dilakukan oleh Antonius Sembiring yang hingga saat ini telah
mengkoleksi sedikitnya 94 stup (koloni) di lahan budidayanya.
Lebah yang dipelihara merupakan lebah Indica yang merupakan jenis lebah
lokal yang dapat diternakkan menggunakan stup.
Dari ternak lebah yang dilakukan oleh Bapak Antonius Sembiring tersebut dapat
dipanen madu sebanyak satu botol besar (dua botol kecil) per stup per 15 hari
pada masa normal, atau sebanyak satu botol kecil madu pada masa track (musim
hujan) per stup per 15 hari. Dengan harga jual madu sebesar Rp.75.000,- per
botol kecil maka bapak Antonius Sembiring mendapatkan tambahan penghasilan dari
beternak lebah ini sebanyak Rp.28.200.000,- per bulan pada masa normal, atau
sekitar Rp.14.100.000,- per bulan pada masa track (pada musim hujan). Tambahan
hasil ini diperoleh pada lahan budidaya jeruk manis dan terung belanda seluas
2.350 m2 yang di lahan selanya dilakukan peternakan lebah dengan
jarak stup (koloni lebah) 5x5 meter.
PEMANFAATAN
LAHAN BEKAS TAMBANG GALIAN C UNTUK BUDIDAYA BIBIT IKAN DENGAN SISTEM KERAMBA
Pemanfaatan lahan
tergenang (waduk) bekas tambang galian C untuk pembesaran bibit ikan nila (Oreochromis niloticus), lele dumbo (Clarias
gariepinus) dan patin (Pangasius
hipothalmus) dengan sistem keramba telah dilakukan oleh Bapak Syamaun
Usman di Keluarahan Ladang Bambu Kecamatan Tuntungan Kota Medan.
Pemeliharaan bibit ikan nila, lele dumbo dan patin
dengan ukuran awal rata-rata 2,23 g per ekor yang dipelihara selama 30
hari (1 bulan) mencapai bobot rata-rata 10,4 g/ekor. Setiap unit keramba yang dibuat berukuran 3 x 3 meter dengan
kedalaman jaring 2 meter menghabiskan biaya sebesar Rp.1.890.000,-
dapat dipelihara sebanyak 1000 ekor bibit ikan per
keramba. Biaya pembelian bibit dan biaya pemeliharaan selama 30
hari rata-rata sebesar Rp. 200,- per ekor. Harga jual bibit ikan setelah berukuran
lebih dari 10 g/ekor tersebut (umur 1 bulan) sebesar
Rp.500,-, sehingga diperoleh keuntungan rata-rata sebesar Rp.100,- per ekor
atau rata-rata Rp.100.000,- per keramba. Dengan kermaba yang dimiliki oleh
Bapak Syamaun Usman sebanyak 112 unit, maka penghasilan bersih yang diterimanya
sebanyak Rp.11.200.000,- per bulan.
Daftar Pustaka
Abdul-Rauf. 2007. Teknologi
Optimalisasi Lahan Kering. Makalah disampaikan pada Pertemuan Koordinasi Peningkatan Kemampuan
Optimalisasi Lahan Program
Peningkatan Ketahahan Pangan Tahun 2007. Dinas Pertanian Propinsi Sumatera Utara, Medan, 23 Nopember 2007
Abdul-Rauf dan H. Guci. 2008. Reklamasi Lahan Rawa Pegunungan Menggunakan Tipe Agroaquaforestry Berbasis Penggunaan Lahan
Berkelanjutan Di Kawasan Penyangga Taman Nasional Gunung Leuser. Makalah Pada Seminar Nasional dan Pertemuanan Tahunan Komda HITI,
Palembang 17 Desember 2008.
Abdul-Rauf. 2008a. Optimasi Pemanfaatan
Lahan Perkebunan Dalam Meningkatkan Pendapatan Petani Di Sumatera Utara. Makalah Pada Seminar Nasional
dan Rapat Tahunan Dekan Fakultas Pertanian PTN Wilayah Barat Indonesia. UNSYIAH
Banda Aceh, 17-18 Juni 2008
Abdul-Rauf dan S. Usman. 2009. Pemanfaatan Lahan Bekas
Tambang Galian C Untuk Budidaya Bibit Ikan Dengan Sistem Keramba. Makalah Pada Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan
Fakultas Pertanian PTN Wilayah Barat Indonesia di Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa (UNTIRTA) Serang Banten, 13-16 April 2009.
sangat bermanfaat sekali pak
BalasHapusterima kasih ilmunya prof.. semoga menjadi amal jariyah amin..